Widgetized Footer

Mar 8, 2007

Pencerahan Dari Pinggir Jalan Dhoho


Dengan uang kita bisa membeli buku, tetapi tidak ilmu pengetahuan. Dengan uang kita bisa membeli rumah bukan tempat tinggal. Dengan uang kita bisa membeli jam, tetapi bukan waktu.

Nasihat China

Petikan nasihat orang-orang bijak itu, nampaknya sebanding lurus dengan apa yang di alami sebuah toko di Jalan. Raya Dhoho Kota Kediri. Dari papan namanya, seabad lalu, dengan mudah orang akan mengatakan bangunan itu, merupakan toko buku. Dalam bahasa Belanda, disebut Boekhandel. Di belakangnya tercantum tulisan Tan Khoen Swie.

Sebuah kejayaan intelektual dibangun dalam rentang waktu tahun 1883-1953. Dalam pada itu, Tan Khoen Swie merupakan pemilik toko buku, yang disebut-sebut sebagai orang pertama di Indonesia yang mengubah tradisi tutur menjadi mencetak pada sebuah kertas. Dari tangan dingin pria tionghoa ini, lahirlah pemikiran-pemikiran sastrawan jawa. Sebut saja karya pujangga Surakarta R. Ngabehi Ronggowarsito berjudul Kalatida, hingga kini masih tersimpan rapi. Demikian pula dengan karya Tiga Sastra, dan Wedha Satya. Kitab Wulang Reh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV.

Kini toko yang dulunya bernama Boekhandel Tan Khoen Swie telah berubah. Semuanya sudah kusam. Cat putih dan biru yang dulu mendominasi kini kian kabur dimakan usia. Pada pintu depan, terdapat papan kayu biru kusam bertuliskan Toko Surabaya, yang menjual bahan makanan seperti abon, dendeng, krupuk, dan makanan pelengkap lainnya.

Di selatan toko yang menjual makanan itu, terdapat sebuah ruang praktek dokter gigi. Di situlah, Drg Sutjahjo Gani, cicit Tan Khoen Swie menjalankan profesinya.

Sisa-sisa kejayaan itu masih nampak. Begitu masuk ke dalam toko makanan, tergantung foto-foto kuno tentang Tan Khoen Swie. Di dalam foto itu juga terdapat, beberapa nama pujangga tenar pada masanya, RNg Ronggowarsito, Mangkoenagoro IV, RNg Yosodipuro, Ki Padmosusastro.

Setelah melintas ruang etalase toko penganan, kesan kumuh serta kuno mulai tampak. Tetapi jangan berhenti di situ, perjalanan menyimak kejayaan legendaris penerbit buku, baru di mulai. Di belakang bangunan toko, terdapat bangunan mirip sebuah hotel berdiri kokoh. Model arsitekturnya khas bangunan pada zaman Belanda. Memanjang dari utara ke selatan, bangunan tersebut sangat asri. Di belakang bangunan juga terdapat satu makam leluhur.

Pada bagian bawah, menurut Drg Sutjahjo Gani, merupakan lantai yang digunakan sebagai gudang penerbitan. Sedangkan di pada lantai dua merupakan kantor sekaligus ruang etalase buku. Di sini terdapat sekitar 5 kamar yang sampai sekarang masih digunakan sebagai tempat tinggal. ”Ini merupakan titipan buyut saya. Kendati ahli warisnya bukan saya, tetapi saya berkewajiban menjaganya,” tukas Gani.

Bagian paling atas rumah bergaya Cina itu, mirip kelenteng. Masuk ke loteng yang berada pada puncak bangunan, harus melalui lorong bertangga yang dipenuhi kamar-kamar. Di situlah para pujangga terkenal, tinggal beberapa bulan untuk menuangkan pikirannya ke dalam kertas. Untuk selanjutnya dicetak dalam buku-buku Khoen Swie. Sehingga tak heran, bila buku Aji Asmaragama, Ahli Nujum, Aturan Supaya Awet Muda dan Panjang Umur, Primbon Mengadu Jago, Suluh Kesempurnaan, Taman Kekuatan Gaib "Sihir", Aji Japa Mantra, Sech Siti Jenar, hingga buku teologi, Kawruh Pekih, Sukmowiworo Kawruh Theosofie, Riwayat Nabi Kongcu, Kitab Tarekat, menghiasi rak di ruang paling atas bangunan. ”Meski hanya merawat, saya seperti berada di dalam lautan ilmu yang tak terbatas. Hanya tinggal mengasah minat baca, maka semua ilmu ada di kamar ini,” ungkap Gani.

Dalam berbagai literaturnya, Tan Khoen Swie diperkirakan lahir di Wonogiri, Jawa tengah, sekitar 1833. Dalam berbagai riwayat, Ia tak pernah sekolah tetapi bisa membaca dan menulis diperolehnya dari seorang guru yang setiap hari mengajar di Keraton Solo. Pada suatu ketika, tanpa sadar ketika mengintip proses belajar dan mengajar di keraton Solo, Tan Khoen Swie bisa menjawab pertanyaan yang diajukan guru. Sehingga kemudian menjadi murid di situ. Setelah menikah dengan gadis Surabaya, Liem Gien Nio, ia memulai bisnis toko buku sekaligus penerbitan.

Sejak 1883 hingga 1982, lebih dari 400 judul buku berhasil diterbitkan. Yang paling kontroversial ada pada masa rezim Soeharto. Dua buku terbitan Tan Khoen Swie dilarang beredar. Kedua bukunya, berjudul Gatolotjo dan Darmogandoel. Gatolotjo dinilai melecehkan sebuah agama di Indonesia. Selain kedua judul itu, Tan Khoen Swie juga menerbitkan, buku filsafat Jawa, pengetahuan olah rasa, rahasia wanita, pengobatan tradisional, sejarah, sampai dunia binatang.

Hebatnya pada tahun-tahun itu, Tan Khoen Swie juga menjadi pelopor hak cipta. Setiap penulis selalu diberi satu kuitansi yang berisi jaminan atas karya ciptanya. Dan hingga saat ini, kuitansi tersebut masih tersimpan di sudut ruang tempat penyimpanan buku. Kini dari ketiga anak Tan Khoen Swie, hanya Michael Tanzil yang menaruh perhatian terhadap penerbitan. Tetapi Michael hanya mengelola sampai 1963. Sebelum pindah ke Jakarta dia sempat menerbitkan buku untuk dicetak ulang. Sebelum Michael meninggal, ia menyerahkan semua aset dari Tan Khoen Swie kepada istrinya, Yuriah Tanzil. Kini buku-buku Tan Khoen Swie yang tersimpan di lantai atas, siap menjadi pitutur dalam bentuk cetakan buku.(edi purwanto)

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog