Widgetized Footer

Mar 9, 2007

13 Tahun Kasus Marsinah

Keputusasaan Mulai Hinggapi Keluarga

Berbeda dengan Suciwati, istri almarhum Munir, yang terus berjuang hingga ke Amerika Serikat, Keluarga Marsinah cenderung putus asa. Mereka seperti tak perduli apakah kasus Marsinah terungkap atau tidak.

Seorang pria dengan pandangan sinis, berdiri di depan pintu.”Sudahlah mas, tidak ada apa-apa di sini,” kata pria berumur sekitar 50 tahun itu. Ia merupakan paman, dari seorang pahlawan serikat perkerja Indonesia itu. ”Mau tanya soal Marsinah, kami sudah lelah, dibawa kesana kemari tanpa ada kejelasan kasus Marsinah dituntaskan,” imbuhnya. ”Semua harta telah kami kerahkan hingga ludes semua. Pergi ke Jakarta sampai beberapa kali, semuanya menggunakan uang sendiri. Tapi hasilnya apa, kasusnya juga tidak tuntas,” lanjut pria itu.
Sedangkan Mbah Puirah, lebih bersemangat menanyakan pembunuh cucunya. Wanita yang mengalami penurunan daya ingat itu, justru perkataannya tetap meledak-ledak. ”Telu lakon uripku iki ngger (ada tiga perjalanan dalam kehidupanku ini nak Red),” ungkapnya. ”Salah satunya, ya kasusnya Marsinah,” sambungnya tetap menggunakan bahasa jawa. ”Sudah kubesarkan sejak kecil, ternyata pulang sudah menjadi mayat. Lek sampean ngerti pembunuhe kandani mbah ya (Kalau kamu mengerti siapa pembunuhnya, mbah diberitahu ya),” katanya.
Di bawah sebuah foto dengan tiga sertifikat di bawahnya, Mbah Puirah berhenti. ”Ini cucu saya yang meninggal itu,” katanya. Di bawah foto Marsinah, terdapat Piagam penghargaan Yap Thiam Hien tahun 1993, Piagam penobatan sebagai pahlawan pekerja Indonesia oleh SPSI, dan piagam penghargaan Pemerintah Kab. Nganjuk. ”Piye to ngger (bagaimana to nak), mbah sudah tidak tahu lagi,” ungkapnya.
Dibesarkan Mbah Puirah, Marsinah menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA di kota kelahirannya. Selain hobi membaca, lulusan SMA Muhammadiyah Nganjuk ini dikenal pekerja keras, dan tak mengenal rasa takut. Nampaknya dua sikap ini, yang membawanya menjadi aktivis buruh di tempatnya bekerja. Ia memperjuangkan ke-13 rekannya yang di PHK di Kodim Sidoarjo. Ia juga memimpin aksi memperjuangkan hak-hak buruh pada 4 Mei 1993-yang diduga kebanyakan orang-, berbuntut pada pembunuhan terhadap gadis manis itu.
Setelah hilang, jenazah Marsinah ditemukan pada sebuah gubuk di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk. Selanjutnya, seperti yang ditulis media kala itu, Marsinah diduga meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan. Ia diduga tewas akibat tusukan benda runcing. Perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, lengan serta pahanya lecet. Selain itu, selaput dara robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur.
Kemudian, pemilik dan staf manajemen PT CPS menghilang atas dugaan sebagai otak pembunuhan Marsinah. Mereka diseret ke pengadilan, atas dakwaan membunuh Marsinah. Motifnya, Marsinah dibunuh lantaran mengancam membocorkan kegiatan ilegal perusahaan memalsu arloji merek terkenal. Belekangan, para staf dan manajemen PT CPS dibebaskan Mahkamah Agung. Keputusan bebas murni itu, semakin menguak siapa pelaku pembunuhan sadis itu. Nampaknya kasus itu akan menjadi, sebuah pertanyaan seterjal jalan menuju ke makam Marsinah. Hingga sepantasnya, kita memahami keapatisan keluarga Marsinah, terhadap penegakan hukum di negeri ini.
Rentang waktu yang lama, kurang lebih 13 tahun, sejak jenazah Marsinah ditemukan tewas pada 9 Mei 1993, membuat pihak keluarga terkungkum dalam ketidakpastian. Silih berganti, wartawan, polisi, politisi, seniman, aktivis perempuan, aktivis HAM, mendatangi rumah keluarga Mbah Puirah. Tetapi semuanya hanya datang dan pergi. Mereka tak pernah memberi pencerahan bagaimana kasus Marsinah terungkap. ”Itu yang membuat kami terlalu lelah melayani tamu,” tukas Wiwit,19, salah satu cucu Mbah Puirah. (edi purwanto)

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog