Widgetized Footer

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sep 20, 2007

Aku Sang Penyair


Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, aku diberi kesempatan mengabdikan sebagian sisa hidupku, menjadi seorang jurnalis.

Mengawali kisahku, terlahir dengan nama Edi Purwanto, 8 Agustus 1977, aku membuka mata di tengah keluarga kecil di pedesaan berjarak sekitar 3 km ke arah utara dari Kota Blitar. Tepatnya, di Desa Jiwut RT 01 RW 07, Kec. Nglegok, Kab. Blitar. Ibuku tempatku bersimpuh bernama Suciati, dan sang ayah yang setiap saat menjadi idolaku bernama Muharno.

Ayahku hanya penjual rumput kala aku masih berumur beberapa hari di dunia nan fana ini. Dengan penghasilan Rp1500 per hari kala itu, beliau yang hingga saat tulisan ini dibuat masih sehat, membesarkan Edi kecil. Menginjak usia 5 tahun, aku masuk sekolah dasar SDN Sentul V, Kota Blitar.

Di sekolah itu, aku dicap anak nakal. Terutama ketika duduk di kelas 1, aku sering menghadap ke belakang tanpa memperhatikan Bu Nasrikah, tetanggaku yang juga mengajar di sekolahku. Hingga saat ini, kenangan itu masih melekat. Alhamdulillah, dengan prestasi sedang-sedang saja, aku naik hingga kelas IV. Di kelas ini, perjalanan hidupku seperti terukir dan terpahat, seperti melampaui waktuku saat ini.

Di kelas aku sering berdiri di depan kelas karena sering membikin karangan di luar batas. Sangat panjang, ruwet, dan tulisannya jelek sekali. Tak heran Bu Mintarsih, guru bahasa Indonesia kala itu, sering menghukumku.

Ternyata Allah SWT, mempunyai garis takdir bagiku, mungkin karena hukuman guruku itu, aku diberi kesempatan menjadi seorang jurnalis pada usiaku ke-25. Setelah lulus SD aku masuk ke SMPN 6 Blitar.

Kondisi ekonomi keluarga ayahku mulai goyah. Pak Yusuf, kakak ayahku no 2 yang tinggal di Cikampek, sakit parah hingga harus dirawat di Blitar. Hampir setiap minggu, Pak Dheku itu harus dirawat di rumah sakit karena sakitnya.

Karena tak pernah punya uang saku, sejak kelas I aku berjualan stiker ke sekolah-sekolah pada pagi hari. Siang harinya, aku harus sekolah hingga sore. Yang tak pernah kulupakan, aku berjualan stiker hanya laku Rp50. Hatiku seperti teriris. Sejak itu, aku memahami sulitnya mengais rezeki. Hidup harus berjuang, dan diperjuangkan. Hari-hari aku jalani dengan ketabahan.

Terus terang hingga aku lulus SMP, aku merasa agak kurang dalam pelajaran Matematika. Padahal aku ingin sekali, bisa pelajaran itu. Keinginan itu menimbulkan niat masuk ke dalam STM. Sayangnya, aku tidak diterima di Jurusan Mesin STM Negeri Blitar. Aku banting stir ke sekolah swasta yakni di STM Islam Blitar.

Selama tiga tahun aku bergulat dengan ilmu teknik dan agama. Di sanalah aku mengerti, NU ataupun Muhammadiyah. Pernah sekali, aku mendebat guru agamaku soal kilafiah hingga 2 jam lebih. Semuanya kulakukan karena keingintahuanku saja.

Mulai saat itu, dua organisasi Islam tersebut, membawa warna bagi Edi remaja. Di lingkungan sekolah, aku selalu didoktrin paham-paham NU, sedangkan di lingkungan keluarga selalu Muhammadiyah. Pergulatan batin itu, membawaku aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII).
Tak hanya itu, pelampiasanku juga sampai ke organisasi lain. Ikut Pramuka, atau Tapak Suci, kujalani dengan riangnya masa remaja.

Alhamdulillah, aku lulus pada 1995. Dan Allah memberi kesempatan padaku, belajar di perguruan tinggi. Sejak kelas III STM, aku hanya ingin masuk ke Univ. Muhammadiyah Malang. Tidak yang lain, atau universitas negeri lain. Hidupku mulai ditempa di Fakultas Teknik Jurusan Mesin sejak 1995.

Dasar-dasar Teknik Mesin di STM, membantuku sedikit banyak beradaptasi dengan lingkungan kampus. Basic organisasiku mulai butuh penyaluran. Selain kuliah aku aktif di IMM, HMJ, Tapak Suci, KSR-PMI, dan aktif dalam pergerakan mahasiswa 1998.

Hingga saatnya aku menjadi saksi Tragedi Semanggi II. Kondisi ekonomi keluarga ayahku, mulai membaik seiring ayahku yang bekerja sebagai pedagang telur ke Jakarta. Allah berkehendak lain.

Ketika aku mengajukan skripsi, usaha ayahku bangkrut karena ditipu rekan bisnisnya di Jakarta. Itu terjadi pertengahan 1999. Akibatnya, kuliahku agak tersendat karena biaya yang seharusnya untuk menyelesaikan harus digunakan menutup hutang.

Hari Raya Tahun 2000, menjadi saksi perjuangan keluarga kami. Sehabis hari raya, sekitar pukul 03.00, ayah membangunkanku. Pada intinya, beliau sudah tidak kuat membiayaiku, dan memintaku pergi ke Malang.

”Bapak sudah tak kuat membiayaimu. Ini ada uang Rp50 ribu, beras 5 Kg, dan telur 5 kg, pergi sana. Bapak tak pernah mengharap kelulusanmu, lulus tahun 2010 pun gak papa,” kata ayahku, yang hingga saat ini masih kukenang.

Berbekal itu, dengan air mata yang terus menetes aku Salat Tahajud. Seusai Subuh kutunaikan, aku beranjak membawa tas dan pergi ke Malang.

Dengan memendam sejuta kegalauan, aku duduk di bangku nomor 2 kiri sebuah bus yang menuju kota keduaku yakni Malang. ”Aku harus bisa. Ini perjuanganku,” begitu kata hatiku. Sepanjang perjalanan, lamunan mencari kerja di mana selalu mengusik otakku. Tak terasa perjalanan sudah menghabiskan waktu 1,5 jam. ”Kacuk, kacuk, siapa yang turun,” kata kernet bus.
Bergegas, beras 5 kg, telur 5 kg, aku angkat. Di punggungku tercantol ransel kumuh yang suatu saat menemaniku ke Gunung Semeru. Perjalanan selanjutnya harus menggunakan angkota menuju ke Terminal Landungsari.

Dari terminal yang sampai saat ini menjadi kenanganku, aku berjalan kaki menuju ke kos yang berjarak sekitar 2 km. Aku langsung rebahkan badanku di kamarku yang berukuran 2 x 3 meter. Mataku nanar menatap langit-langit.

Tak terasa butiran air mata kembali mengalir. Dari kamar itu, aku jadi manusia yang menurutku sangat kontras. Di kampus aku adalah seorang ketua UKM Tapak Suci. Belum seabrek jabatan di UKM lain, entah jadi sekretaris di IMM, jadi bendahara, atau paling tren menjadi aktivis demo 1998. Dengan segala kekurangan dana, aku juga memegang dana organisasi.

Tetapi aku tak silau, aku harus berjuang sendiri meraih cita-citaku. Kebetulan pada saat itu, aku mengenal seorang gadis bernama Dwi Ardiyanti. Dia yang mendampingiku kala susah, dan kala senang. Tiga hari aku mencari kerja menggunakan ijazah STM, tak ada yang bersedia menerima keterampilanku mengelas atau membubut logam.

Hingga suatu ketika, aku bertemu dengan anak tetanggaku yang kini sudah almarhum. namanya Mbak Enni, usianya lebih tua beberapa tahun dibandingkan aku. ia bekerja sebagai penjaga toko. ”Mbak ada kerjaan buat aku nggak. Entah kuli atau apapun aku sanggup ngelekuin,” kataku pada suatu sore. Dia sempat meragukan kesungguhanku. Matanya berkedip, dan dahinya bekernyit. ”Masak sih. Kamu kan anak kuliahan masak harus kerja sebagai kuli,” jawabnya.

Aku hanya membutuhkan waktu 15 menit menceritakan semuanya. ”Yo wis, nanti coba aku tanya-tanya ke toko sebelahku. Tiga hari lagi nanti aku kabari,” katanya.

Hatiku bersemi wajahku riang, menanti kabar yang sebenarnya masih belum fix itu. Skripsiku belum kujamah sama sekali. Judul yang sudah kuajukan hanya kupandangi dengan tatapan kosong. Setiap malam, kerjaanku hanya membikin sebuah puisi.

Sebungkus rokok dan 1 bloknote menemani malam-malamku. Hingga sepertiga malam, kebiasaan sisi senimanku, berhenti. Air wudu menundukkanku untuk mencari ridanya di salat tahajud. Tepat seperti dijanjikan, Mbak Enni memberi kabar. ”Ada satu toko butuh kuli angkut. Bayarnya Rp150 ribu, dikasih uang transpor Rp1500 dan uang makan Rp1500. Mau tidak,” katanya enteng.

Tetapi bagiku, hal itu sungguh suatu anugerah yang patut disyukuri. tanpa berpikir panjang, daguku mengangguk pertanda setuju. Senyumku melebar seiring hatiku yang ceria. kabar itu segera kusampaikan ke Dwi. Dia kaget ketika, aku katakan bekerja sebagai kuli. Sebagai pacarku, dia sempat menolak karena gengsi.

Karena bujukanku dia akhirnya mau mengerti. Keesokan harinya aku dikenalkan dengan pemilik toko mracang di Pasar Batu. Wanita Cina itu kaget melihatku yang masih berperawakan mahasiswa bukan kuli. ”Di sini kerjanya berat, kamu mau ta,” katanya seperti melotot.

Hanya anggukanku yang menjadi isyarat. Besoknya resmi aku menjadi kuli di siang hari, dan kuliah pada malam harinya. Di toko itu, aku mengenal Sutadji, teman satu pekerjaan dan senasib. Bedanya dia bekerja sebagai kuli toko sejak kelas 6 SD, aku baru menjadi kuli sejak kuliah.

Aku Sang Penyair
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog