Widgetized Footer

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Aug 22, 2013

Republik (m)Udik



Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini; Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan; Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari kini kurus dan terbungkuk hm...; Namun semangat tak pernah pudar meski langkahmu kadang gemetar, kau tetap setia.

”Titip Rindu Buat Ayah” dari Ebiet G Ade tiba-tiba membawaku melayang selaksa peristiwa. Beribu beban dan cobaan tak membuatnya rapuh. Ayah,  dalam perjalanan ini kurindu menyapa. Zamanku memang berbeda dengan zamanmu. Beban yang harus dipikul pada masaku bukan lelah menguras keringat karena mencangkul sawah. Bebanku karena memikirkan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan listrik, kenaikan harga daging, kenaikan harga beras, dan yang paling pahit kenaikan biaya mudik.

Jangan pula bersedih jika melihat  anak-anakmu seusiaku tertatih karena beban itu. Idul Fitri ini, kami tetap bersimpuh meminta maaf dengan segala keterbatasan. Tegakkanlah dagumu. Jangan sekali-sekali tertunduk kala melihat harga-harga setinggi langit itu. Ini zamanku, bukan zamanmu. Ayah, kita adalah rakyat. Seberat apapun beban menjadi rakyat, engkau tetaplah seorang ayah, dan aku juga seorang ayah. Sebagai kepala rumah tangga, tak pantaslah tangis bercucuran di sepanjang jalur mudik. Usaplah air matamu kala cucu-cucumu datang memeluk dari belakang.

Hidup di republik ini bukan ringan seperti zamanmu. Punggungmu yang hitam karena pahatan sinar sang surya, seolah menggambarkan kehidupan petani yang tak pernah merdeka. Tiga bulan menabur benih padi nyatanya panen habis dalam satu bulan. Tak seperti zamanmu, uang ratusan ribu pun cukup membeli sapi sepasang.

Kini uang ratusan ribu rasanya hanya cukup membeli buntut sapi. Katakan pada ibu, tak usah memasak rendang daging untuk kami. Beban ibu sudah terlalu berat. Sejak zaman Pak Soeharto hingga zaman Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), entah berapa kali ibu jatuh bangun karena harga bumbu-bumbu dapur itu. Bayangkan saat republik ini akan merayakan Lebaran, harga bawang putih menembus angka yang tak pernah dibayangkan yakni Rp60.000/kg.

Lupakan kerupuk bawang atau sambal korek yang bumbunya bawang putih, garam, dan cabai itu. Ibu, cukup sayur pakis yang bapak petik dari pinggir sungai. Jangan pedas-pedas karena pemerintah tak pernah becus mengatur harga cabai. Warna sayur pakis yang hijau tua sudah cukup mengusir lelah kami dari perjalanan jauh.

Ibu, jangan tertunduk lesu. Senyumlah meski dapurmu sudah sepi dari daging dan cabai. Jangan pernah meminta belas kasihan para penggede negeri ini. Muka mereka sudah bebal. Lubang telinga mereka sudah tembus dari kiri ke kanan. Sudah beribu-ribu kali ditulis koran namun mereka tak peduli.

 Persiapan mudik Lebaran sudah diliput beratus kali, namun jalanan di pantai utara Jawa itu masih rusak. Republik ini masih udik (pengertian, lawan kota) dalam menyiapkan mudik. Buktinya, pemerintah seperti keledai yang masuk di lubang yang sama. Macet dari tahun ke tahun, masih di mana-mana. Perjalanan Surabaya-Jakarta yang dulunya bisa ditempuh 25 jam kini nyaris 48 jam.

 Bandingkan dengan Kota Busan, Korea Selatan. Negara yang merdekanya hampir sama dengan bangsa Indonesia ini relatif lebih maju. Suasana kotanya nyaman, jalanan kota  bersih dan mulus. Kereta api mereka juga nyaman dinikmati. Pendeknya, sistem transportasi negeri ginseng ini sangat baik. Kita? Meski sudah sama-sama 68 tahun merdeka, rasanya masih kampungan alias udik. Monorel yang katanya standar negara maju baru akan dibangun di Jakarta 2013 ini. Belum lagi penataan kota yang masih semrawut. Warga-warga di pinggir rel dan sungai seolah menjamur. Pemandangannya seperti negara yang rakyatnya miskin semua.

Ayah, ibu, anakmu tak ingin terlena mengeluh tentang kesemrawutan mudik. Aku ingin mudik seperti orang-orang Amerika Serikat merayakan hari nasional, “Thanksgiving”. Mereka merayakan dengan suka cita hari Thanksgiving, pada Kamis keempat bulan November di Amerika Serikat, atau pada hari Senin kedua bulan Oktober di Kanada.  Mudik mereka naik pesawat terbang, atau naik kereta api super cepat sehingga jarak Jakarta-Surabaya bisa ditempuh hanya tiga jam. Jalan bebas hambatan benar-benar jalan yang tidak ada hambatannya. Apa daya, kita mudik dengan daya seadanya.

Mungkin tidak hanya aku, para pemudik itu juga ingin pulang dengan kepala tegak tanpa memikirkan beban harga sembako, BBM, dan listrik yang mencekik leher. Inilah realita yang harus dihadapi di republik ini. Rakyat harus bersabar. Rakyat harus berzikir sepanjang jalan, dan rakyat harus bersyukur agar bisa tegak berdiri dengan segala himpitan beban. Barangkali itulah inti pelajaran mudik, yakni perjalanan cinta menuju kampung halaman dengan penuh kesabaran.

Bukan sekadar hura-hura holiday travel. Bagiku mudik adalah perjalanan menggapai maaf dan cinta kepada orang tua, dan kerabat. Tak peduli hujan, panas, lelah dan kantuk, semua diterjang demi bertemu kerabat di kampung halaman. Namun apabila kaki tak kuasa melangkah, tiket bus tak terjangkau, dan tiket KA sudah lewat, jangan gundah gulana saudara-saudaraku. Masih ada telepon dan short messages service (SMS).

Namun apabila pulsa handphone tak terjangkau, jangan khawatir, sampaikan maaf lewat penguasa jagat. Semoga kita diberi keselamatan saat tiba di kampung halaman dan kembali bekerja. Selamat Idul Fitri 1434  hijriah, mohon maaf lahir dan batin. Dirgahayu Republik Indonesia ke 68. Merdeka..!  

Jun 30, 2013

Salat Subuh Yuk

Pagi nan hening. Lima menit kemudian puja dan puji berkumandang. Jarum jam berdentang. Gendang telinga serasa tertantang. Saat semua terlentang, suara rantai dan pagar gemerincing. Kasur empuk semakin nikmat dipeluk. Guling memanjang semakin enak untuk menopang. "Lima menit lagi ah," begitu pikiran melayang. Mata di tubir kantuk. Azan berkumandang jauhnya serasa di padang. Puja dan puji semakin sayup terdengar. Tak terasa iqomat tinggal lamat-lamat. Mata semakin tak terbendung. Dia terjerumus ke dalam lubang tak berujung. Sebentar kemudian slide tentang kematian bergerak teratur. Arak-arakan keranda mayat berjalan merambat. Sekira lebih dari seribu orang berjalan lambat. Tangan2 kekar memegang keranda erat. Bibir mereka terkatup lamat2 berzikir padat. "Laillahaillah," demikian seterusnya. Jarak antara masjid dengan makam hanya lima ratus meter. Hatiku tersentak. Bibirku kelu. Namun kaki ikut maju dan berlari. Tanganku meski tak kekar menyambut keranda berisi jenazah. Ternyata lebih pendek dari pengusung keranda lainnya. Aku tak peduli. Kakiku terus berlari. "Suatu saat ku kan mati, seperti jenazah yang kupikul," kataku dalam hati. Makam itu tinggal 10 meter tapi tangan serasa tak kuat lagi. Belum sempat aku pindahkan, kaki tersangkut sarung. Bukk tubuhku jatuh terguling. "Pak-pak ayo bangun. Salat subuh yuk," kata istriku membangunkanku. Rupanya aku terjatuh dari tempat tidur. Salat subuh yuk sebelum disalati..

Jun 28, 2013

Salat Jumat Yuk

Ketika khatib naik mimbar tidak boleh ada kata-kata protes. Perbincangan yang riuh rendah sontak senyap meski dari luar teras terdengar cekikikan bocah-bocah. Pandanganku beralih dari teras masjid ke atas mimbar. Sang khatib mulai berkhotbah.  Semua yang dikatakan Khatib, saat berkhotbah harus diterima, entah enak di hati atau tidak enak ketika dicerna. Namun di situlah proses instropeksi.
 Mungkin kata-katanya terlalu pedas dan menusuk, tetapi apa yang disampaikan seorang khatib hari ini terasa sejuk. Bukan karena AC yang dingin atau kipas angin yang berputar kencang, tapi karena yang disampaikan khatib ini merupakan adab hidup. Tidak ada kata-kata jihad membantai orang-orang yang sesat. Yang diungkapkan sebuah adab menjalani hidup dengan rendah hati.
Ya sebuah adab yang bisa dipegang mulai dari zaman dahulu, sekarang, bahkan satu abad yang akan datang. Juga bisa dipegang bagi yang masih anak-anak, remaja, dewasa, hingga para manula. Seperti apa? Mari membayangkan diri kita sebagai anak muda. Dalam pergaulan sehari-hari, anak muda akan sering bertemu dengan orang dewasa, orang berusia lanjut, dan anak-anak.
Adab apa yang harus dilakukan ketika bertemu dengan anak-anak? ”Jangan pernah meremehkan anak kecil,” kata khatib berusia sekitar lima puluh tahun itu. Anak muda harus menyadari bahwa dosanya lebih banyak dibandingkan anak kecil. Jika dilihat dari umurnya, dosa yang diperbuat anak kecil jelas lebih sedikit. “Jadi inilah pola berpikir positif. Menghargai anak kecil dengan posisinya sebagai anak kecil,” tandas khatib itu.
Bagaimana ketika bertemu dengan sesama anak muda? Tentu juga ada adabnya. “Yang lebih penting adalah menghormati ilmunya. Jangan dipandang sebaya atau umurnya sama,”tandas khatib bersuara serak itu. Dengan memandang positif itu, maka jiwa anak-anak muda akan teduh. Dia bisa menghargai sebaya dan menghormatinya sebagai teman, sahabat, dan tempat berbagi ilmu.
Tidak hanya menusuk-nusuk kalbu anak muda. Khatib yang mengenakan baju gamis putih itu juga meninju mental orang-orang dewasa.”Pun orang dewasa, jangan sekali-kali merasa besar karena memiliki jabatan tinggi atau sudah jadi bos. Pangkat hanyalah baju yang suatu saat dilepas kembali,” tuturnya.  Bagaimana menghadapi orang yang lebih tua? Tentu ada adabnya. Berpikirlah bahwa orang yang tua memiliki amal ibadah yang lebih banyak dibandingkan yang muda. ”Dengan demikian, kita mampu memetik ilmunya, ” imbuhnya.
Adab yang terakhir ini patut direnungkan bagi para teroris. Adab apa itu? Adab terhadap orang-orang yang berada di jalur sesat. Adab terhadap orang-orang yang berbeda jalan dengan umat islam. Adab ini mengajarkan berpikir positif bagi orang yang selama ini dipandang kafir dan jahil. “Jangan pernah berpikir mereka akan selalu tersesat. Berpikirlah positif,” katanya. Seperti apa? Pernahkan engkau berpikir kapan kematianmu tiba. Kita pasti tidak pernah tahu kapan ajal menjemput.  Panca indera kita tidak akan tahu kapan malaikat maut akan datang mencabut nyawa. Teknologi paling canggih pun tidak bisa mengendus kapan kematian itu datang maupun pergi. Jadi, belum tentu orang-orang yang dikatakan sesat itu mati dalam kesesatan. Bisa jadi orang-orang yang selama ini di jalan Allah akan menimpa kebalikannya. Mati dalam keadaan tersesat. Sedangkan orang yang sesat itu justru mati di jalan Allah.
Tiada daya upaya, kecuali hanya dengan kekuatan Allah. Karenanya, perbanyaklah mengingat Allah, dan beramallah untuk kehidupan setelah mati. Semoga kita selalu mendapat ridha Allah SWT. (JT bening di barisan saf paling belakang)

Jun 18, 2013

Invictus

Out of the night that covers me; Black as the Pit from pole to pole;
I thank whatever gods may be; For my unconquerable soul
In the fell clutch of circumstance; I have not winced nor cried aloud
Under the bludgeonings of chance; My head is bloody, but unbowed
Beyond this place of wrath and tears; Looms but the Horror of the shade
And yet the menace of the years; Finds, and shall find, me unafraid
It matters not how strait the gate; How charged with punishments the scroll
I am the master of my fate; I am the captain of my soul

Puisi, William Ernest Henley berjudul “Invictus” di atas menjadi inspirasi Madiba Nelson Mandela. Berkat puisi itu pula, semangatnya tak lekang meski ditahan 30 tahun di penjara. Ini bukan soal Mandela. Ini adalah persoalan menjadi ”invictus” atau yang tidak terkalahkan. Mandela dalam fim Invictus yang diilhami true strory mampu menjadi motivator ulung bagi tim rugby Afrika Selatan. Tim rugby yang dulunya kacangan berubah menjadi singa afrika yang haus kemenangan.
Ujian Mandela diawali saat iring-iringan kendaraan presiden melintas di samping lapangan rugby. Nada cibiran keluar dari seorang pelatih yang meragukan kepemimpinan Mandela. Pada adegan lain, sebagian partai pengusung Mandela menolak keberadaan tim rugby. Sampai pada pertemuan di tingkat komite atau KONI-nya Indonesia, partai pengusung Mandela akan membubarkan tim rugby. Mandela sampai turun tangan menyelesaikan masalah ini. Dia mendatangi kantor KONI, dan menegur dengan bahasa halus bahwa keputusan KONI itu salah. Singkatnya tim rugby Afrika Selatan bertahan dan bersiap menghadapi Rugby World Cup 2005.
Masalah belum tuntas semuanya. Sebagian besar anggota tim rugby yang didominasi kulit putih juga meragukan kepemimpinan Mandela. Mereka ragu bisa memenangkan piala dunia. Di sinilah kepemimpinan Mandela diuji. Dia lantas ”menculik” kapten tim rugby yang diperankan Matt Damon. Matt diundang ke istana presiden.
Meski tidak jelas targetnya, tapi Madiba memberi puisi dari William Ernest. I am the master of my fate; I am the captain of my soul. Begitulah jika Madiba menugaskan untuk merebut piala dunia. Puisi itu pula yang menjadi inspirasi tim Afrika Selatan menjadi juara dunia. Mereka mampu mengalahkan Selandia Baru dengan spirit, I am the master of my fate; I am the captain of my soul. Seberapa penting rugby? Olahraga ini bagi Mandela sangat penting untuk menyatukan bangsa yang pernah terpecah antara kulit hitam maupun putih. Dan hasilnya, saat tim rugby juara, semua orang bersatu di bawah bendera Afrika Selatan.
Indonesia boleh dibilang tertinggal dibanding Afrika Selatan. Mereka pernah menggelar 2010 Fifa World Cup South Africa. Pagelaran yang semula diragukan akhirnya sukses. Ribuan rakyat Afrika Selatan bangga meski timnya gagal menembus final piala dunia. Semangat inilah yang layak diambil dari Afrika Selatan. Kepentingan negara di atas segala-galanya. Dengan bersatu semua hal-termasuk merengkuh juara piala rugby- bisa dilakukan. Semangat inilah yang perlu diusung pada Kongres PSSI yang digelar Komiter Normalisasi PSSI di Solo, 9 Juli mendatang. Tentu ini bukan pekerjaan mudah.”Saya butuh orang-orang yang punya ini (tangan Agum Gumelar memegang pin merah-putih),” kata Ketua KN Agum Gumelar saat berkunjung ke kantor Harian Seputar Indonesia, beberapa waktu lalu.
Ya, Agum Gumelar memang benar. Tidak memandang remeh jiwa nasionalisme para pemilik suara PSSI, namun kongres mendatang memang rawan ditunggangi kepentingan uang. Jika kongres nanti deadlock lagi, maka sanksi dari FIFA segera menanti. Pembinaan pemain sepak bola usia dini kandas. Mata rantai kompetisi tersendat. Jika kongres tidak diselamatkan, mimpi ribuan pemain sepak bola Indonesia bakal kandas. Indonesia membutuhkan spirit ”Mandela” seperti saat dia mendukung tim rugby. Negeri ini membutuhkan kesederhanaan “Mandela” untuk meraih mimpi jadi juara dunia. Beda pemimpin memang beda gaya. Mampukah Pak SBY? I am the master of my fate; I am the captain of my soul. (edi purwanto)

Zikir, Pikir, dan Ukir

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan dan sejuta beban, mari rehat sejenak. Beningkan hati. Mari berpikiran positif. Jangan biarkan tubuh Anda ikut bergemuruh panasnya otak. Biarkan air wudu mendinginkan kepala hingga hati Anda tersentuh basahnya zikir. Semuanya biarkanlah waktu yang membuka tabir. Layaknya gemuruh gelombang samudera, biarkan aliran darah mengalir lancar. Rasakan denyutnya seperti gelombang samudera membuang sampah ke pantai. Pejamkan mata. Rasakan denyutnya hingga bulu kuduk merinding menyambut sang khalik merasuk ke dalam jiwa-jiwa. Mari berjalan laksana air mengalir di sela-sela bebatuan. Ada jalan di sana. Ada alur sungai yang menuntun kita. Biarkan dan ikuti air meliuk-liuk di sela bebatuan hidup. Memang ada ganjalan di sana. Tapi nikmatilah layaknya pemain kung fu melenturkan tubuh. Jalan terang terbentang di depan mata. Nikmatilah laksana engkau di tepi kolam. Berkaca pada kebeningan kolam. Melawan diri kenali was-was. Semua semakin keruh kala otak terpuruk di jurang frustrasi. Sering menangis sejatinya membuka diri. Ketenangan kolam tempat kita bercermin diri. Kawan, teman dan saudara adalah kolam yang memantulkan sikap dan tingkah kita sehari-hari. Mari rehat sejenak. Tenangkan hati dan berpikir positif. Rileks Mari perlahan menarik napas dan hembuskan beban berulang-ulang. Setiap beban ada jalan untuk berpulang. Buka indera kita satu per satu. Bila terhimpit beban jangan khawatir terjepit apalagi terkejut. Biarkan indera kita terbuka. Pikiran rileks menjaga keseimbangan. Hadapi dengan tegas laksana air bah turun dari bukit. Di sinilah idealisme bertemu realitas. Rileks kawan.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog