Widgetized Footer

Mar 8, 2007

Logika Gaplek, Gengsi Atau Kebutuhan Perut



Harga beras yang melambung sejak Januari 2007, menjadi masalah yang rumit bagi masyarakat. Ini dapat dipahami, harganya sudah diambang batas kemampuan maksimal daya beli masyarakat. Satu kilogram beras sudah menembus harga Rp6 ribu. Padahal dengan harga beras Rp4 ribu per kilogram, masyarakat banyak yang tak mampu membeli
butiran putih itu.

Kondisi tersebut, lantas tidak dipahami masyarakat dengan sikap patah arang. Hidup masih berjalan, dan roda kehidupan belum berhenti akibat beras mahal. Masyarakat di lapisan bawah terutama kalangan kuli bangunan, dan lapisan yang jauh di bawahnya, harus mengencangkan ikat pinggang.

Bertahun-tahun masyarakat kelas bawah banting tulang, yang diikuti pula dengan budaya mengencangkan tali pinggang lebih erat. Seorang sahabat sedari kecil, pernah bertutur, dalam sehari ia pernah tak bisa memberi keluarganya satu kilogram beras. Penghasilan sebagai buruh pertanian dan terkadang menjadi kuli bangunan, tak lebih dari Rp15 ribu.

Dengan penghasilan sebesar itu, jelas tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum keluarga. Bila dirinci, untuk saat ini uang Rp6 ribu hanya cukup beli satu Kg beras. Ini belum termasuk untuk beli sayur dan lauk seperti tempe. Belum lagi biaya sekolah kedua anaknya yang sudah duduk di sekolah dasar.

Dengan segala keterbatasan, teman tersebut bertahan. Untuk makan sehari-hari, beras satu kg diulur-ulur hingga berhari-hari. Caranya, dengan dicampur butiran jagung yang ditanak. Akhirnya tampaklah butiran kuning tersebar di antaran butir-butir nasi.

Cara seperti itu dilakukan masyarakat di pedesaan yang ada di lereng Gunung Kelud dan sekitarnya. Sedangkan pada warga yang tinggal di pegunungan kidul, nasi terkadang dicampur dengan butiran tiwul. Tips bertahan hidup ala pedesaan ini, cukup efektif menghalau serangan beras yang harganya sudah selangit.

Yang menjadi masalah, berani atau tidak, untuk melakukan itu. Betapa tidak dalam rentang 30 tahun kehidupan negeri ini, masyarakat cenderung didorong untuk mengkonsumsi nasi. Gengsi kehidupan mewah adalah dengan makan nasi.

Image yang muncul kemudian, adalah makanan gaplek dan jagung merupakan milik masyarakat pedesaan. Sehingga meski sudah memakan singkong, tetap saja masyarakat belum menganggap sarapan alias makan nasi.

Kini yang menjadi pertanyaan, sudahkah gengsi kita mengalahkan kebutuhan perut. Padahal ada alternatif bahan makan yang sudah tersedia, dan lebih murah dari sekadar beras. Atau, pemerintah yang kurang mendorong masyarakat untuk memakan bahan pangan alternatif ini.

Bila tidak, sungguh sombong masyarakat kita. Di tengah bencana melanda, dan ketidaktentuan ekonomi, kita tetap menaruh gengsi di atas segala-galanya. Kalangan elit pemerintah dan politik pun, harus instropeksi. Jangan menari diatas perut-perut kempes karena tak kuat beli beras. Namun ironi seperti itu, nampaknya tetap dibangun untuk dipertahankan tirani kekuasaan.

Kembali pada gaplek. Bahan makanan ini, diolah dari ubi ketela pohon atau singkong. Untuk memproduksinya, sangat mudah. Ubi singkong kemudian dikupas dan dikeringkan. Ubi yang sudah kering, kemudian ditumbuk sebagai tepung tapioka yang bisa dibuat bermacam-macam kue. Tepung dari gaplek selanjutnya bisa dibuat menjadi nasi tiwul yang gurih.
Dari berbagai catatan, kebutuhan kalori manusia yang mencapai 2000 kalori per hari, sebenarnya tak hanya dipenuhi dari nasi. Sejumlah makanan maupun minuman lainnya, akan menjadi tambahan energi. Sebagai perbandingan, dalam satu kali makan, setidaknya harus memenuhi kalori hingga 175 kalori atau 100 gram nasi.
Kebutuhan akan kalori, sebenarnya bisa dipenuhi dari singkong. Sebagai data masukan, 100 gram nasi jagung atau 200 gram singkong. Bisa juga dengan mengonsumsi 150 gram ubi atau 200 gram talas.

Indonesian Nutrition Network, mengungkapkan, banyak penelitian yang membuktikan nutrisi atau kandungan gizi jagung, ubi kayu, ketela rambat, ganyong, sukun, talas, gembili, kentang lokal, bahkan suweg tak kalah dengan beras ataupun gandum.

Data FAO (1972) menyebutkan, kalori beras merah, beras giling, ubi kayu kering, dan gandum hampir sama, masing-masing 354, 366, 349, dan 346 kalori. Fakta tersebut diperkuat oleh data Direktorat Gizi Depkes (1981). Kalori beras giling, tepung terigu, dan tepung gaplek rata-rata mencapai 360 kalori, masing-masing 360, 365, dan 363.

Bahkan, tepung gaplek lebih tinggi tiga kalori dibanding dengan beras. Kandungan karbohidrat tepung gaplek lebih tinggi, mencapai 88,2 gram, sementara beras giling 78,9 gram dan tepung gandum 77,3 gram.

Kini, bola ketahanan pangan ada pada pemerintah, masyarakat, dan individu-individu, yang tinggal di negeri gemah ripah loh jinawi. Masihkah kita menaruh gengsi di atas segala-galanya. Silakan bertahan dan mencoba, hingga harga beras tak terjangkau masyarakat kita. (edi purwanto; edp_snkota@yahoo.com)


0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog