Widgetized Footer

Mar 8, 2007

Ujian itu; Anak Tanpa Anus

Anak merupakan anugerah Tuhan YME yang tak terhingga nilainya. Siapapun orangtua, tak akan menginginkan anaknya lahir tanpa anus. Namun, lakon kehidupan itu yang harus dijalani pasangan suami istri Muhfid,29, dan Kartini,29, warga Desa Banjarejo, Kecamatan Ngadiluwih, Kediri. Mohammad Maulana,1, putra kedua pasangan penjual alat kebersihan tradisional itu lahir tanpa anus.


Rumitnya birokrasi negeri ini, telah menelantarkan seorang anak manusia hingga ke titik nadhir. Kartu jaring pengaman (JPS) sosial bukanlah solusi di meja operasi. Maulana, sepertinya adalah korban kesekian kali keegoisan pranata sosial negeri yang dikenal gemah ripah loh jinawi ini. Air mata telah menjadi teman, sekaligus sahabat bagi Kartini. Karena hanya itu yang bisa dikerjakan selain berusaha agar Maulana dioperasi sehingga mempunyai lubang anus.

Tiada kata menyesal melahirkan anak itu. Karena perekonomianlah yang membuat mata ibu muda itu selalu sembab, tatkala memandang Maulana yang tergolek lemas. Entah berapa kali dalam sehari, ia membuang kotoran melalui sebuah lubang di bagian samping perut sebelah kanan. Kesabaran Kartini kian diuji. Dalam hitungan itu pula, ia harus mengganti popok yang telah berbau kotoran manusia.

Rumah seluas 8 x 10 m2 itu, terasa kian sempit. Kain-kain tersebar di sembarang tempat menambah rumit suasana. Kondisi itu diperparah kakak Maulana. Febriana Fitri yang baru berumur 9 tahun terkadang bermain-main di dalam rumah. Sehingga membuat semuanya serba tak teratur, dan nyaris boleh di bilang berantakan.

Maklum, Muhfid dan Kartini harus berangkat pagi-pagi ke Pasar Ngadiluwih, yang berjarak sekitar 500 meter dari desa mereka. Di sana mereka mengadu nasib menjadi pedagang alat-alat kebersihan tradisional. Sayangnya meski banting tulang hingga siang hari, penghasilan dari menjual pengki, sapu lidi, maupun peralatan rumah tangga terbuat dari kayu, tak mencukupi kebutuhan hidup.

Dalam sehari, keduanya menghasilkan uang atau laba Rp10 ribu sampai Rp20 ribu. Tetapi melonjaknnya harga bahan makanan seiring kenaikan harga BBM, membuat uang Rp20 ribu hanya cukup untuk makan sehari. ”Mungkin kalau kami punya sawah bisa lebih menghemat keuangan. Tetapi penghasilan kami hanya dari berdagang abrakan (peralatan kebersihan dan rumah tangga dari kayu),” tukas Muhfid.

Di sela-sela kepergian ayah ibunya, Maulana hanya tergolek di pembaringan lusuh. Di waktu lain bila tidak demam atau flu, si kecil yang akrab dipanggil lanang itu, bermain bersama Murti, neneknya. Terkadang bila sang ibu duduk di sampingnya, bocah berkulit kuning langsat itu menggelayut manja. Muhfid sebagai kepala rumah tangga seakan kehabisan akal untuk berusaha.”Sudah kemana saja saya mencari bantuan tetapi tak kunjung berhasil,” tandas Muhfid
Kebahagian bertirai kesedihan itu bermula setahun silam. Perut Kartini yang membuncit sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Siang itu, ketika menunggu kios sempitnya, perut Kartini terasa mual. Semula rasa mual itu, ia tak pernah rasa berlebihan. Rasa itu kian tak terkendali. Hati kecilnya berkata, ia akan melahirkan anak kedua. ”Saya kemudian meminta bapaknya Fitri mengantarkan pulang,” tutur Kartini.


Dengan diantar beberapa pedagang, Kartini pulang dengan dipapah. Ia langsung dibawa menuju ke rumah salah satu bidan tetangga rumahnya. Di sana, dinding, dan atap ruang bersalin, menjadi saksi bisu perjuangan antara hidup dan mati. Menjelang Salat Magrib, tangis putra kedua Muhfid memecah ketenangan warga Desa Banjarejo. ”Karena lahir menjelang Salat Magrib, ia kami beri nama Muhammad Maulana agar menjadi manusia yang berbakti kepada agama, bangsa dan negaranya ,” kata Kartini sembari mengenang proses kelahiran Maulana.

Hingga sehari dilahirkan, Maulana tidak menunjukkan tanda-tanda buang air besar. Bayi berumur dua hari itu, sering memuntahkan makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Di sela memuntahkan air susu dari ibunya, Maulana menangis sejadi-jadinya. Ini yang membuat kedua orangtuanya curiga. Ia kemudian dibawa ke bidan tempat melahirkan

Bidan yang membantunya segera memeriksa seluruh bagian tubuh Maulana. Hasilnya, bayi mungil ini diketahui tidak memiliki lubang kotoran atau anus."Padahal anak yang baru dilahirkan rata-rata langsung buang air. Ini tidak terjadi pada anak saya," jelas Kartini.


Hal yang beda dengan kondisi normal membuat bidan merujuk bayi Kartini ke RSUD Gambiran Kota Kediri. Selanjutnya, dengan susah payah Muhfid dan Kartini, membiayai operasi pembuatan saluran sementara pada perut sebelah kanan. Lubang itu sebagai pengganti dubur. Pertolongan tersebut sifatnya hanya sementara. Itu dilakukan hingga Maulana berumur 1 tahun dan memiliki berat badan 10 kg agar siap dioperasi untuk pembuatan anus.

”Kami harus mengeluarkan dana Rp2.5 juta untuk operasi pembuatan lubang sementara itu,” tandas Kartini. Uang Rp2.5 juta bagi keluarga Muhfid sangatlah besar. Kendati bekerja 5 bulan, belum tentu mendapat uang sebanyak itu. Apalagi, keluarga Muhfid tidak termasuk pasien Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Perjuangan tak berhenti pada saat Maulana memiliki lubang sementara. Justru setelah operasi, kesabaran mereka kian diuji. Membesarkan Maulana bukan perkara mudah. Hampir tiap jam bayi yang baru beberapa hari menatap dunia itu, selalu menangis. Penyebabnya adalah lubang pada perut Maulana selalu mengeluarkan kotoran. ”Kami bergantian menjaga Maulana,” sambung Muhfid.
Pola makan yang diberikan kepada Maulana juga diatur sedemikian rupa. Kendati penghasilan pas-pasan, untuk makan putranya, Kartini selalu memilih dan memilah. Kebanyakan selalu diberi pisang dan susu. Makanan itu diberikan dengan tujuan agar Maulana tidak terlalu sakit begitu buang air besar. Persoalan popok jangan ditanya. Setiap hari bisa 10 sampai 15 popok kotor karena terkena kotoran Maulana. Demikian perjuangan itu dilakoni Muhfid dan Kartini selama setahun. Begitu menginjak satu tahun, mereka kembali membawan Maulana ke RSUD Gambiran untuk pembuatan anus. Sayangnya keinginan itu pupus di tengah jalan. Tim dokter yang sebelumnya menangani Maulana, menyatakan tidak sanggup membuat anus karena keterbatasan alat. Mereka justru dianjurkan membawa Maulana ke RSUD dr Soetomo Surabaya untuk berobat.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini mereka mengurus surat JPS di kantor desa setempat, agar terdaftar sebagai pasien tidak mampu.

Berbekal kartu JPS itulah mereka kemudian membawa Maulana ke Surabaya. Sesampainya di Surabaya, lagi-lagi pasangan Muhfid dan Kartini harus gigit jari. Pasalnya, pihak rumah sakit meminta agar mereka mengantri untuk bisa mendapatkan tempat tidur khusus pasien JPS.

"Menurut petugas di sana, jatah pasien JPS sudah habis. Kami harus antri untuk bisa mengobatkan Maulana. Sampai satu bulan antri tidak ada pemberitahuan lagi," keluh Kartini.

Kini, keluarga miskin ini masih menunggu uluran tangan dari Pemerintah Kabupaten Kediri, khususnya Dinas Kesehatan agar memberikan bantuan pengobatan kepada Maulana. Sebab hingga kini mereka harus berjuang sendiri demi kesembuhan Maulana yang terus beranjak besar.

Beruntung mereka masih bisa bernafas lega ketika dr Syamsul Azhar SpD, salah seorang dokter penyakit dalam di RSUD Gambiran beritikad baik menolong Maulana. Ia berjanji akan membawa persoalan itu ke beberapa rekan dokter untuk memberikan pengobatan secara gratis.

"Saya akan berusaha mengetuk hati rekan-rekan dokter yang mengetahui penyakit ini. Mudah-mudahan mereka mau memberikan pengobatan gratis kepada Maulana," jelas dr Syamsul di Klinik Dahlia, Jumat (12/1/2007

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog