Widgetized Footer

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jul 21, 2007

Derita Sunarti, TKW asal Blitar


Baru Sebulan Di Hongkong, Pulang Lumpuh

Kisah pilu selalu mewarnai para pahlawan devisa di luar negeri. Sunarti,27, asal Desa Jiwut, Kec. Nglegok, Kab. Blitar, adalah satu dari sekian kisah pilu yang dialami tenaga kerja wanita. Baru sebulan bekerja di Hongkong, gadis manis ini pulang dengan tangan dan kaki yang sulit digerakkan.

Kepala Sunarti mendadak pusing ketika baru saja menyapu lantai di rumah Ho Mo Tae di Hongkong awal Nopember 2005, beberapa saat kemudian giliran matanya berkunang-kunang. Selebihnya semuanya hanya gelap, dan gelap. Dua minggu kemudian sejak 7 Desember 2005, seberkas cahaya mulai menyibak gelap yang selama ini dirasakan. ”Semuanya serba putih. Atap-atap kamar juga putih,” terang Sunarti ditemui Sindo di rumahnya, kemarin.
Saat itu, yang dia tahu kamar tersebut adalah sebuah rumah sakit di Hongkong. Dari catatan medisnya, ia dirawat di Hospital Authority Hongkong. Waktu berjalan sangat lambat kala itu. Nama maupun alamatnya pun, anak kedua dari empat putri Suwadi ini, tak mampu mengingat. ”Waktu itu saya seperti amnesia, tidak ingat apa-apa,” ujarnya.
Seperti orang asing, Sunarti mulai bertanya kepada suster yang merawatnya. Pertanyaan pertama kali yang diajukan adalah siapa namanya. ”Kata suster itu, saya bernama Sunarti dari Indonesia,” tuturnya.
Selain itu, dia juga diberitahu majikannya di Hongkong adalah Ho Mo Tae. Saat itu, hatinya tersentak. Cita-citanya ingin membahagiakan kedua orang tuanya dengan bekerja di luar negeri lenyap. Ia ingin bergerak tetapi tangan dan kakinya seperti tak mau beranjak. Hanya mata yang bisa berkedip, sedangkan bibirnya mulai bisa bergerak. ”Saya tanya susternya menggunakan bahasa mandarin, tetapi mereka bilang saya tidak sakit apa-apa,” katanya.
Belakangan diketahui, kalau di rumah sakit itu, ia sudah menginap selama 2 minggu. Padahal, menurut perasaan Sunarti, ia baru tertidur sehari. ”Sejak itupula, harapan yang dibangun sejak setahun lalu, musnah sudah,” katanya.
Sunarti dibesarkan keluarga Suwadi dengan tiga saudar kandungnya. Semuanya sudah menikah kecuali Sunarti. Dalam benak gadis berambut seleher itu, ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya sebelum menikah. Suwadi, ayah kandungnya, yang bekerja sebagai buruh petani, mampu membiayainya hingga sekolah diploma 1. Sayang dengan ijazah itu, ia tak mampu meraih perkejaan sesuai dengan impiannya. Tak betah tinggal di Blitar dan mengangggur, ia bermaksud merantau ke Hongkong sebagai TKW (tenaga kerja wanita). Melalui PT Hikmah Surya Jaya, cita-cita Sunarti berangkat ke Hongkong tercapai pada Nopember 2005 silam. ”Ketika saya pingsan itu, saya baru bekerja sebulan,” katanya.
Dengan tubuh terbaring, ia meracau mengguman ayahnya Suwadi. ”Sok kaya masak aku diinapkan di rumah sakit mewah,” kata Sunarti menirukan cercaannya. Ternyata ia hanya mengigau karena stres berada di dalam ruangan hampir sebulan penuh. Beberapa kali darahnya diambil dokter. Bahkan, dia juga akan disuntik sungsum karena katanya terkena penyakit kanker otak. ”Mereka bilang kalau, tidak cepat ditolong saya bisa mati dalam setahun,” ungkap Sunarti menirukan perkataan para perawatnya.
Setelah sebulan penuh di dalam perawatan dr WM Lam, Sunarti akhirnya dipulangkan majikannya. Gaji selama satu bulan sudah diberikan. Sedangkan biaya rumah sakit ditanggung majikannya. ”Untungnya majikan saya baik, sehingga ketika pulang sudah dibelikan tiket kemudian diantar di bandara,” tutur Narti, panggilan akrabnya.
Di bandara, pramugari Indonesia sudah mengawal Narti. Di atas kursi roda, ia terduduk didorong menuju ke pesawat. ”Ya Allah saya tak bisa membahagiakan orang tua saya,” ungkap Narti dalam hati kala itu. Sampai di Bandara Juanda Kamis (19/1) tengah malam. Suasana duka pun menyelimuti kedatangan putri kedua Suwadi. Puluhan tetangga yang hadir tak kuasa menahan air mata. Perlahan butiran air mata mengalir di pipi ibu-ibu yang menyaksikan kurusnya tubuh Sunarti. Ia dibaringkan di kasur tipis di atas ranjang bambu. Matanya hingga saat ini masih kabur. Kaki dan tangannya tak bisa digerakkan. Ia ingin berobat tetapi tak kuat membayar pengganti obat. Vonis kanker otak yang sering diungkapkan perawat di Hongkong, tak dihiraukan Sunarti. ”Mau berobat bagaimana, saya tak punya uang. Ada uang Rp 1 juta dari PT Hikmah Surya Jaya, tetapi apa cukup. Yang penting saya bisa di rumah, sudah senang,” tuturnya.(edi purwanto)

Menunggu Pakem Jaranan Kediren

Putri Dyah Ayu Songgolangit Bisa Jadi Ciri Kediren

Menentukan pakem seni jaran Kediren tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi saat ini ada sedikitnya 50 perkumpulan seni jaranan di Kota Kediri, mempunyai gaya serta penampilan yang berbeda-beda dalam setiap aksinya di panggung.

Perpaduan suara gong, kenong, kendang, angklung serta terompet dan suling, menggelegar dalam setiap pagelaran seni jarananan. Tembang pambuka (pembuka Red) melengking sesuai bunyi terompet menggugah kaki untuk bergerak. Sesaat kemudian, penari pria mengenakan baju putih layaknya prajurit keraton meloncat ke tengah lapangan. Geraknya lincah dan sedikit seperti banci. Setelah penari itu, tiga penari lain muncul dengan seragam yang sama. Keempat orang itu berdiri sambil memegang jaran kepang berukuran kecil. Tangan kanan, memegang pecut sesekali melecutkan hingga berbunyi layaknya petasan. Setelah memamerkan tari olah keprajuritan, muncul singo barong menyalak menggeram dengan cara mengkatupkan mulutnya. ”Plakk, plakk” Suara dua kayu yang menimbulkan suara unik itu, mengiringi penampilan salah satu group kesenian jaranan Taruno Setyo Budoyo dari Bandar, Kota Kediri.
Sepintas prolog kesenian jaranan itu, tak menampilkan aliran Sentherewe, Pegon, ataupun Jawa. Dari semua ciri khas itu, dirangkum menjadi satu penampilan dalam peragaan itu. Para pinisepuh seni jaran kepang Kota Kediri banyak juga yang terperangah dengan penampilan itu. ”Ini alirannya mesti sentherewe, karena pakai kuda kecil, baju serta ciri khas gamelannya menggunakan terompet,” kata seorang pinisepuh sambil mengamati penampilan group itu.
Ternyata penilaiannya tak sepenuhnya benar. Di tengah-tengah aksinya, para penari juga menampilkan aliran lain, seperti pegon maupun jawa. Juga kemunculan Prabu Klono Suwandono, serta Patih Pujonggo Anom, hampir sama dengan tiga aliran seni jaranan yang saat ini berkembang. ”Ini hanya sebagai alternatif saja. Apakah semuanya dirangkum menjadi satu pakem kediren atau bukan, terserah pinisepuh. Karena sudah sepakat membentuk pakem Kediren, maka kita akan membentuk tim agar cepat terealisasi,” terang Guntur Tri Uncoro.
Masih banyak versi tentang pakem seni jaran kepang Kediren. Mulai ukel (gaya Red) menari, kemudian cara masuk ke dalam arena ataupun keluar, juga perlu dipakemkan. Setelah terbentuk pakem itu, akan disosialisasikan hingga pada akhirnya terkenal dengan Pakem Jaran Kediren. ”Setelah menjadi budaya nanti, jika orang melihat maka akan menilai; oo ini lho pakem jaran kediren,” ungkap Guntur.
Selain merangkum semua aliran menjadi satu, alternatif kedua bisa digunakan. Yakni memunculkan toho Dyah Ayu Songgolangit dalam setiap pentas kesenian jaranan. Alternatif ini mempunyai kelebihan belum pernah dicoba di perkumpulan seni jaran kepang. Tak ada yang memunculkan tokoh putri Kerajaan Kediri itu. ”Jika harus memunculkan tokoh Dyah Ayu Songgolangit, maka harus ditata kapan ia muncul, dan bagaimana dia bergerak seni tarinya,” kata seniman yang juga Staf Dinas Pariwisata Kota Kediri.
Untuk itu, kata Guntur, tim yang dibentuk terdiri dari koreografer serta pinisepuh mempunyai tempat yang penting dalam penataan gerak. Tim ini yang akan menentukan pakem setelah merekam beberapa pagelaran seni jaranan pakem Kediren.
Sementara itu, Sukisworo, Ketua Paguyuban Seni Jaran Kepang Kota Kediri, mengatakan, pembentukan pakem itu merupakan pendekatan strategis budaya lokal. Sehingga akhirnya, menjadi aset pembangunan budaya lokal yang berorientasi pada budaya nasional. ”Dengan membentuk pakem yang akan dikerjakan Tim dari Dewan Kesenian Kota Kediri maupun dengan pinisepuh seni jaran kepang, maka jaranan akan menjadi seni kebanggan Kota Kediri yang tetap eksis di era globalisasi ini,” terangnya.(edi purwanto)

Menunggu Pakem Jaranan Kediren

Muncul Tiga Aliran, Hingga Campursarian

Perkembangan seni jaran kepang sangat pesat seiring ciri khas kesenian rakyat yang berkembang dari mulut ke mulut. Bentuk dan ceritanya pun kadang, berubah seusai tuntutan zaman. Ada tiga aliran yang kini menjadi primadona, Sentherewe, Jawa, dan Pegon. Bahkan ada yang digabung dengan campursari yang kini sedang naik daun.

Bertahan di tengah derasnya gempuran kebudayaan global, membuat seniman jaranan di lembah Brantas harus berinovasi. Seniman jaran kepang Tulugagung, ternyata lebih dulu mengambil inisiatif. Gamelan jaran kepang yang khas hanya dilengkapi, suling, kendang kempul, angklung dan suling, kini semakin bervariasi. Seperti dinovasikan kelompok jaranan kepang Turanggo Savitri Putra yang mencampurnya dengan tembang-tembang lain. Akhirnya menjadi jaranan campursari. Seiring perkembangan waktu, bisa jadi apa yang dilakukan Turonggo Savitri Putra menjadi pakem jaranan. ”Langkah-langkah ini perlu itempuh untuk menciptakan kreasi jaran kepang kediren,” terang Bambang Tetuko, moderator seminar mencari identitas seni jaran kepang pakem kediren.
Sebenarnya, jauh sebelum Turonggo Savitri Putra berinovasi, sudah muncul aliran gerak dan musik seni jaran kepang di seting wilayah lembah brantas. Di Malang, Tulungagung, Kediri, dan Blitar, ada seni jaran kepang Sentherewe, Pegon, maupun Jawa. Tiga aliran ini muncul seiring dengan semakin berkembangnya seni jaranan dari mulut ke mulut. Dengan demikian, bisa dikatakan kemunculan seni jaranan anoname (tanpa pencetus), dan tak ada yang bisa mengklaim siapa penemu aliran-aliran itu. Menurut Guntur Tri Untoro, satu dari 3 pembicara, tiga aliran itu mempunyai perbedaan dan persamaan. Aliran Sentherewe selama ini dikenal dengan ciri, kudanya kecil, berbaju lengkap dengan udeng, dan celana kuda. Untuk tetabuhannya (musik), menggunakan ketuk kenong, kempul, gong, kendang, serta terompet. ”Terkadang dalam penampilannya bisa makan makanan yang gatal-gatal ataupun kaca. Ini penampilan khas aliran Sentherewe,” terang Guntur.
Aliran kedua adalah Jawa. Aliran ini ciri khasnya pada jaran kepang yang besar. Empat penarinya memakai celana kombor dan ueng bersenjatakan pecut. Mereka menari lemah gemulai diiringi ketuk 1, kempul 1, kendang, angklung, dan suling. Untuk aliran ketiga adalah pegon. Mulai jumlah penari, kemudian cara berpakaiannya hampir sama dengan aliran jawa. Yang membuat beda, di aliran ini, suling diganti menggunakan terompet. ”Suara terompet ini juga khas Kediri,” terang Guntur.
Kedatangan Islam pada beberapa abad silam, membawa dampak dalam kesenian jaranan. Seperti yang diungkapkan Hanif, pimpinan Perkumpulan Jaranan Turangga Sakti Kota Kediri. ”Jaranan itu, berasal dari kata belajaro sing temenan ( belajar yang sungguh-sungguh),” katanya. Ungkapan Hanif merupakan makna dari aliran Islam yang masuk ke dalam sendi-sendi seni jaranan. Toh tidak hanya Hanif, sekitar 40 undangan yang hadir di Dewan Kesenian Kota Kediri, dalam seminar mencari identitas (pakem Red) Jaranan Kediren, Rabu (18/1) malam, juga kebingungan ketika ditanya pakem Jaranan Kediren. Hanif berpendapat keras karena memang ada dasarnya. Selama ini, kesenian jaranan sering dianggap seni abangan. ”Jaranan bisa juga digunakan dakwah. Belajaro sing temenan itu, merupakan pesan-pesan dakwah yang hingga saat ini masih relevan,” jelasnya.
Tidak hanya agama yang menyeret masalah jaranan. Politik pada era 1960an, atau bahkan hingga sekarang, masih senang menyeretnya dalam wilayah praktis. Seperti diungkapkan, Suhadi Sudomo, seorang pinisepuh jaranan Kota Kediri. Pada masa 1960an, jaranan sering dijadikan alat politik mencari massa. Termasuk apa yang dilakukannya kala itu. ”Saya mendirikan jaranan memang dengan tujuan untuk politik yakni mencari massa,” katanya.
Bila demikian, ketika kegiatan politik sudah tidak ada, maka kesenian bisa mati dengan sendirinya. ”Ini yang saya tidak inginkan jika seni jaran kepang pakem kediren terbentuk,” ujarnya.(edi purwanto)

Menunggu Pakem Jaranan Kediren

Ngumpulno Balung Pisah Seniman Lembah Brantas

Menelusuri seni jaran kepang di wilayah Lembah Brantas mulai Malang, Blitar, Tulungagung, dan Kediri, ibarat belajar mendengar, meresapi, dan memaknai cerita legenda Dyah Ayu Songgolangit. Ada yang memaknainya dari segi kejawen, dan datangnya Islam ke tanah jawa berabad-abad silam juga memberi warna tersendiri.
-----------------
Berawal dari sebuah legenda turun temurun, alkisah pada zaman Kerajaan Kediri, lahirlah putri cantik nan rupawan. Ketika menginjak remaja, ia bernama Dyah Ayu Songgolangit. Tiada banding, kecantikannya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Syahdan, raja-raja tetangga kerajaan Kediri banyak yang tertarik. Putri jelita ini, mempunyai seorang adik yang tak kalah terkenal, bernama Raden Tubagus Putut. Pada zamannya, menurut legenda, Raden Tubagus Putut pamit kepada ayahandanya untuk belajar dan menambah pengetahuan ketatanegaraan. Demi tujuan itu, pemuda gagah perkasa itu menyamar sebagai masyarakat biasa dengan nama Joko Lelono. Sampailah putra Kediri itu, di Kerajaan Bantarangin (saat ini Ponorogo) yang dipimpin Sang Prabu Klono Suwandono. Singkatnya, berkat kemampuan olah kanuragan, Joko Lelono diangkat menjadi patih kerajaan bergelar Patih Pujonggo Anom. Saat itu, Sang Prabu Klono Suwandono mendengar kecantikan Dyah Ayu Songgolangit, yang tak lain merupakan kakak kandung Joko Lelono. Ia kemudian meminta Joko, untuk meminang putri Kediri itu. Keberangkatannya ke Kediri, membuat Patih Pujonggo Anom memohon petunjuk kepada Sang Dewata. Sebab, ia tak ingin dirinya diketahui sang Ayahanda dan Kakanda tercinta. Dia lantas membuat dua topeng. Satu topeng dengan wajah jelek untuk dirinya, dan satunya berwajah satria yang tampan dikenakan Sang Prabu Klono Suwandono.
Di Kediri, para pelamar berdatangan termasuk Prabu Singo Barong dari Lodoyo, Kab Blitar. Mereka bersaing memperebutkan Dyah Ayu Songgolangit. Tetapi Dyah Ayu sangat mengenali adiknya kendati memakai topeng berwajah jelek. Ia lantas menyampaikan kepada Ayahandanya, kalau Patih Pujonggo Anom itu adalah putra kandungnya. Maka murkalah sang Raja Kediri kemudian mengutuk agar topeng berwajah jelek itu tidak bisa dilepas lagi. Menerima kutukan itu, Patih Pujonggo Anom menyampaikan kepada Dyah Ayu, kalau pinangan itu untuk Prabu Klono Suwandono. Mendengar itu, Dyah Ayu mengeluarkan Patemboyo (permintaan Red). Pertama, dia menginginkan sebuah titian yang tidak akan berpijak pada tanah. Kedua, barang siapa dapat membuat tontonan yang belum pernah ada dijagad (dunia Red), dan bilamana digelar dapat meramaikan jagad. Ketiga, mengarak (mengiring Red) manten menuju Kerajaan Kediri harus nglandak sahandape bantolo (lewat bawah tanah) dengan iring-iringan tetabuhan (bunyi-bunyian).
Karena permintaan itu sulit, Patih Pujonggo Anom dan Prabu Klono Suwandono bersemedi meminta petunjuk kepada Sang Dewata Agung. Setelah sekian waktu bersemedi, Sang Dewata Agung memberi wangsit berupa batang bambu, lempengan besi, dan Pusaka Pecut Samandiman.
Bambu dibuat menjadi kepang (jaran kepang Red) yang melambangkan sebuah titian tak berpijak pada tanah. Kemudian lempengan besi dijadikan tetabuhan yang enak didengar. Dalam waktu singkat Prabu Klono Suwandono bersama Patih Pujonggo Anom berhasil memenuhi permintaan Dyah Ayu. Akhirnya berangkatlah Kerajaan Bantarangin menuju ke Kediri. Di sana, iring-iringan itu menjadi tetabuhan yang bisa menjadi tontonan yang belum pernah dilihat masyarakat Kediri.
Prabu Singo Barong yang merasa kedahuluan, marah dan menyerang iring-iringan Prabu Klono Suwandono. Akhirnya terjadilah perang antara kedua raja yang bersaing meminang Dyah Ayu Songgolangit. Berkat kesaktian dan senjata Pecut Samandiman, akhirnya Prabu Singo Barong kalah. Ia akhirnya menurut sanggup menjadi pelengkap dalam pertunjukan jaranan yang digelar di Kerajaan Kediri.
Sang Dyah Ayu Songgolangit kelihatan gembira bercampur sedih nan pilu. Di saat inilah Sang Dyah Ayu Songgolangit menyampaikan kepada Prabu Klono Suwandono, sebenarnya mengidap penyakit Kedi. Ternyata, semua peristiwa tersebut dari ulah rekadaya atau siasat Dyah Ayu Songgolangit.
Begitu kiranya legenda hingga muncul kesenian jaran kepang di sekitar Lembah Brantas. Legenda yang hingga saat ini belum disepakati alurnya itu, disampaikan Guntur Tri Uncoro, pengamat kesenian jaranan Kota Kediri, pada seminar ”Mencari Identitas Kesenian Jaranan Pakem Kediren” di Dewan Kesenian Kota Kediri, Rabu (18/1) malam. ”Cerita ini ditulis dari pengamatan saya tentang kesenian jarananan di Kediri. Jadi ini bukan patokan, karena itu kedatangan 40 undangan para pinispeuh jaranan ini, untuk menyepakati pembentukan pakem jaranan Kediren,” terang pria yang juga bekerja sebagai staf di Dinas Pariwisata Kediri.
Menurutnya, belum ada satu alur cerita yang disepakati bersama pada legenda Dyah Ayu Songgolangit. Secara garis besar, cerita di atas sangat kental dan terasa dalam setiap lakon seni jaran kepang di Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Ponorogo. ”Jika kita menemukan pakem seni jaran kepang Kediren yang khas, dan berbeda dengan Tulungagung atau Blitar, akan kita angkat ke dunia internasional sebagai aset wisata Kota Kediri,” terangnya.Sementara itu, Ketua Dewan Kesenian Kota Kediri, Nurhadi Sekti Mukti, mengatakan, jika para pinisepuh kesenian jaran kepang berhasil membentuk pakem, maka cita-cita mengangkat kesenian jaranan ke tingkat lebih tinggi bisa terlaksana. ”Dalam waktu dekat tim berisi budayawan, koreografer, serta beberapa pinisepuh akan dibentuk untuk membuat pakem kesenian jaranan Kediren,” terangnya. (edi purwanto)

Air Terjun Lahar Badak



· Asri Tapi Sulit Dijangkau

Air terjun hangat lahar badak yang terletak di sekitar kawah Gunung Kelud, ternyata hingga saat ini belum terjamah Dinas Informasi dan Pariwisata Kab. Kediri. Padahal, air terjun yang sebenarnya terbentuk karena pengendalian lahar Gunung Kelud itu, sangat asri, dan tentu saja airnya mengandung belerang.

”Kalau cuma panu, atau penyakit kulit lainnya, insyallah bisa sembuh jika mandi di sini,” terang Suwarno, pemandu Sindo, menuju ke air terjun hangat Lahar Badak, kemarin.
Sebagai nasehat, jika tak kuat fisik untuk saat ini perlu dipertimbangkan menuju ke air terjun Lahar Badak. Sebab, lokasinya harus menuruni bukit sampai 500 meter dari lokasi parkir di dekat terowongan Ganesha. Ketika mencoba ke sana, Sindo harus turun dari lokasi parkir hingga sungai kecil berair jernih. Menurut Suwarno, air jernih itu berasal dari mata air Gunung Sumbing. Gunung ini terletak dalam satu kawasan kawah Gunung Kelud sebelah selatan melingkar hingga ke timur kawah. Di sebelah utara kawah berbentuk kaldera, ada puncak Gunung Kelud dan puncak Gunung Belerang. Sementara di bagian barat kawah seluas 25 hektare itu, berdiri tegak Gunung Gadjah Mungkur yang dibawahnya ditembus terowongan Ganesha sebagai jalan menuju kawah. ”Kita harus menyusuri sungai kecil ini hingga berjarak sekitar 100 meter,” terang Suwarno memandu.
Perjalanan bersama Suwarno seperti masuk hutan belantara Gunung Kelud. Betapa tidak, kepala harus sering merunduk jika tidak ingin terkena kayu yang malang melintang sepanjang sungai kecil. Matapun harus waspada melihat jari kaki. Jika tidak, bisa dipastikan akan terpeleset bebatuan sepanjang sungai. Apalagi batu-batu tersebut ditumbuhi lumut yang sangat licin sehingga harus ekstra waspada. Menyusuri sungai itu, hanya membutuhkan waktu 30 menit. Tetapi, keringat terus berkucuran karena jalurnya terjal dan menguras tenaga. Kelelahan itu, seakan hilang ketika terdengar derasnya air jatuh. Buih-buih putih akibat air jatuh, membuat mata yang sebelumnya lelah menjadi menyala lagi. ”Ini air terjunnya mas, silakan mandi atau cuci muka sepuas-puasnya,” kata Suwarno sambil menceburkan kakinya ke dalam sungai.
Rasanya tawar tetapi hangat ketika disentuh, ketika dihirup baunya belerang. Air hangat Lahar Badak ini, kata Suwarno, berasal dari kawah Gunung Kelud yang terletak di sebelah utara Gunung Sumbing. Ketika ditelusuri, ternyata air tersebut berasal dari sebuah terowongan bersiameter sekitar 5 meter. ”Airnya berasal dari terowongan yang berfungsi sudetan dari kaawah Gunung Kelud menuju ke sebelah barat kemudian diteruskan menuju sungai lahar,” jelas bapak dua anak itu.
Untuk menuju ke ujung terowongan air terjun Lahar Badak, harus melalui bronjong kawat yang di dalamnya tertata rapi bongkahan batu. Harus melalui 3 tingkat untuk sampai ke ujung terowongan. Itupun harus berjuang menghindari ranting kayu berlumut yang tumbuh di sekeliling aliran air terjun seluas 5 meter itu. ”Sampai saat ini belum ada pengunjung yang datang ke sini, kecuali sampean mas,” kata Suwarno sambil menarik tangan Sindo.
Bau belerang bercampur air menyengat hidung ketika berdiri di atas ujung terowongan. Uap air akibat terjatuh pada batu padas semakin terasa seiring kabut mulai menyelimuti kawasan itu. ”Sebentar lagi kita harus pulang kalau tidak ingin terjebak di sini,” kata Suwarno khawatir.
Usai mengambil beberapa gambar, kaki harus berjalan lagi turun. Kali ini harus ekstra hati-hati karena licin. Setelah melalui tiga tingkat air terjun itu, Suwarno mengajak istirahat. Di sela menarik nafas panjang karena kelelahan, ia menuturkan ikhwal aire terjun itu. Pada 1990, ketika Gunung Kelud meletus, terowongan tempat air kawah dibuang itu tertutup pasir. Warga Sugihwaras, kebingungan mencari jejak terowongan air terjun lahar badak. Pinisepuh (tokoh adat) harus mencarinya dengan turun tebing selama 3 hari. Hari pertama gagal karena semuanya masih tertutup pasir. Beruntung dengan tongkat, pinisepuh itu berhasil mencari jejak jalan aspal yang berada di atas air terjun. Akhirnya pada hari ketiga, air terjun Lahar Badak yang selama ini mampu mengurangi debit kawah Gunung Kelud ditemukan. ”Sejak itu, tak ada orang yang kesini kecuali orang-orang proyek,” kata Suwarno.
Mereka, lanjutnya, mengerjakan saluran untuk air dari terowongan. Termasuk bronjong kawat berisi batu itu yang dibangun setahun sesudah letusan dahsyat yang pasirnya sampai di Australia. Untuk menuju ke sini, pimpinan proyek harus menyewa helikopter untuk mengangkat alat berat sampai ke air terjun Lahar Badak. ”Alat berat itu, dipreteli jadi tiga bagian agar bisa diangkat helikopter. Sesudah sampai di sini, dirakit kembali,” katanya.
Kedepannya, Suwarno bersama 10 orang yang mengurusi wisata Gunung Kelud, bertekad menjadikan air terjun Lahar Badak sebagai tempat wisata. Sayangnya, sampai saat ini belum ada bantuan dari Pemkab Kediri untuk menambah obyek wisata Gunung Kelud. Padahal lokasinya tak jauh dari kawah. Pun alamnya, masih asri karena jarang terjamah manusia. ”Ayo mas pulang, kabutnya sudah mulai turun,” ajak Suwarno meski jarum jam menunjuk pada angka 13.30.
Perjalanan naik ke atas ternyata tak seringan ketika turun. Jalan yang terjal dengan sudut nyaris 30 derajat menjadi tantangan tersendiri. Setelah terseok-seok dengan nafas tersengal, akhirnya perjalanan sampai di pos parkir kawasan Wisata Gunung Kelud. Sunawan, koordinator wisata Gunung Kelud, dihubungi terpisah, mengatakan, pihaknya akan membahas pengembangan air terjun Lahar Badak menjadi obyek wisata.”Tinggal membuka jalan ke arah air terjun. Misalnya dibuat tangga dan penunjuk arah. Selain itu, harus disurvey dulu apakah aman jika dikunjungi. Sebab, di sekitar Lahar Badak masih sering ditemui kijang, ular maupun binatang hutan lain,” jelasnya. (edi purwanto)

Pengidap HIV/AIDS Yang Menikah

Berbulan Madu Layaknya Pasangan Normal

Bayang-bayang virus mematikan, tak menghalangi sebuah kisah tentang cinta sejati. Seorang penderita HIV/AIDS di Kota Kediri menikah dengan wanita yang sudah diketahui negatif virus mematikan itu. Mereka pun juga berbulan madu layaknya pengantin normal.

HIV/AIDS bukan akhir segala-galanya. Virus mematikan itu, menjadi sebuah titik balik dalam kehidupan Tonny,30, bukan nama sebenarnya, asal Kota Kediri. Di saat masyarakat awam menghujat penderita HIV/AIDS, jebolan jurusan administrasi niaga di perguruan tinggi swasta di Jatim itu, justru menemukan jodoh. Bahkan wanita yang dipinangnya, merupakan wanita yang sehat dan negatif HIV/AIDS.
Proses panjang telah dilalui hingga Tonny akhirnya menikah dengan Jenny,29, teman satu SMAnya, pada September lalu. Ia bertemu Jenny saat berjalan-jalan di sebuah mall Kota Kediri, pertengahan 2005 lalu. ”Istri saya baik-baik saja. Tidak ada keluhan saat berhubungan intim, karena sama-sama tahu media penularan virus ini,” kata Tonny ditemui SINDO di kantornya siang kemarin.
Meski wanita itu janda beranak satu, tetapi bagi Tonny pernikahan merupakan momen yang memutarbalikkan kehidupannya. Melalui pernikahan itu, Tonny ingin bercerita kepada masyarakat kalau hidup berdampingan dengan HIV/AIDS tidak berbahaya. Sebagai contoh dirinya. Jenny tak pernah mempermasalahkan tubuhnya yang dihuni virus mematikan. Bahkan hubungan suami istri berjalan sangat normal dan terasa semakin indah.
Tonny tertular HIV/AIDS melalui media jarum suntik. Sejak kuliah kehidupan Tonny relatif amburadul. Putauw kemudian Sabu-Sabu sudah menemani kehidupan Tonny sejak masuk kuliah di Universitas Udayana Bali, pada 1995. Berawal dari jarum suntik bekas satu plastik, ia akhirnya tertular HIV/AIDS dan baru diketahui lima tahun kemudian. ”Saat masih kuliah saya memang ketagihan putauw. Ya mungkin karena jarum suntik satu plastik itu, akhirnya saya tertular,” katanya.
Dalam kondisi yang semakin melemah, Tonny beberapa kali harus menjalani opname. Apalagi selama menjalani perawatan, selang infus selalu tergantung pada lengan dan hidung. ”Ketika terkapar tak berdaya, muncul seorang pria berpakaian rapi dan ganteng. Dia bilang, HIV/AIDS bukan akhir segala-galanya,” tandasnya.
Sejak itu, semangat hidup Tonny mulai hidup. Ia mulai berinteraksi dengan ODHA yang lain. Perjalanannya kemudian hingga di Semarang. Di sana, berkumpul puluhan ODHA. ”Saya menjadi heran dan kemudian bersemangat kembali. Dari situlah saya kemudian tertarik menjadi pendamping sesama penderita,” katanya.
Kini aktivitas Tonny lebih dicurahkan pada pendampingan pecandu obat-obatan, dan penderita HIV/AIDS. Ia ditemani Yulianto, koordinator Kasih Plus Kediri, guna mendampingi ODHA agar berdaya. Yulianto sendiri juga ODHA. Ia merupakan sahabat Tonny ketika sama-sama terkapar di RSU dr Soetomo. ”Sebagai seorang sahabat, saya bangga sekaligus kehilangan,” katanya. Sebab, lanjut Yulianto, kini Tonny lebih banyak menghabiskan waktu bersama istri dibandingkan bersama teman-teman. ”Tetapi memang itu tujuan kami, agar ODHA berdaya dan tidak dikucilkan di masyarakat,” tandasnya. (edi purwanto)
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog