Widgetized Footer

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Mar 9, 2007

Bergelut Bulu Unggas 15 tahun

Flu Burung Siapa Takut!!!

Bagi Suratin,78, pekerjaan memilah bulu unggas untuk produksi shuttle cock, merupakan pekerjaan utama. Meski ada virus flu burung, wanita yang bekerja selama 15 tahun itu tak takut tertular karena sudah terbiasa.

Saat tiga staf WHO datang ke rumah Purwanto, ada pemandangan menarik ketika mereka berbincang dengan Suratin. Di satu sisi, dua staf WHO itu mengenakan pakaian standar proteksi pengamanan virus, mulai masker, tutup kepala, baju full body, hingga sarung tangan. Sedangkan nenek Suratin, hanya mengenakan daster merah kombinasi putih. Perbedaan itu yang menunjukkan, cara dan bagaimana menghadapi, virus yang sangat menakutkan dunia itu. ”Sudah 15 tahun, pekerjaan kami memilah bulu unggas untuk produksi kok. Tetapi baru kali ini, ada kejadian seperti flu burung,” kata Suratin kepada SINDO, kemarin. Yang membedakan, kata Suratin, adalah bulu yang dipilah sebelum Anang sakit demam, bulunya agak basah dan kotor. Namun, karena sudah pekerjaan, terpaksa harus dihitung kemudian dikirim ke Nganjuk dijadikan bahan kok. ”Sebelum-sebelumnya tak pernah ada yang basah dan kotor,” kata Suratin menggunakan bahasa Jawa. Ia menuturkan, untuk 3 sampai 4 karung bulu, keluarga Purwanto memperoleh uang Rp4 juta. Demikian pula saat memilah bulu asal Medan itu, upahnya juga sampai Rp4 juta. ”Kami tak pernah memikirkan flu burung sehingga biasa saja. Apalagi sudah dibilangi dokter kalau sudah aman,” kata Suratin. Sejak Anang dilarikan ke RSUD Dr Soetomo, puluhan tetangga Purwanto, ada yang mengaku khawatir, dan ada pula yang tidak khawatir.”Jelas khawatir, nanti kalau menular pada anak saya bagaimana,” tukas Jumiarti,33, tetangga rumah Purwanto. Menurut ibu dua anak ini, kendati khawatir akan menular pada keluarganya, ia tak pernah menjauh dari keluarga Purwanto. Itu disebabkan, keluarga Purwanto merupakan bagian dari desa yang tidak bisa dipinggirkan begitu saja. ”Kami sudah mengenal baik keluarga mereka. Jadi nggak benar kalau kami harus menjauh,” ujarnya.
Agar tidak khawatir berlebihan, Jumiarti mengaku sudah memberi vitamin kepada anak-anaknya. Setidaknya tubuh mereka, terjaga dari penyakit lain. ”Kebersihan rumah juga harus kami pelihara agar tak kumuh dan menimbulkan penyakit,” ujarnya.
Lain halnya dengan Yatinah. Wanita berumur 41 tahun itu, mengaku rasa kekhawatirannya sangat sedikit. Sebab kendati sangat dekat dengan keluarga korban, lokasinya sudah dibersihkan pemerintah dari virus flu burung. ”Kalau sudah bersih mengapa takut, yang penting kita berusaha,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi penularan virus tersebut, para warga memberi vitamin dalam jumlah banyak kepada anak-anak mereka, serta meningkatkan kebersihan selain melakukan penyemprotan disinfektan dan insectisida. Para warga juga meminta pemerintah, dalam hal ini Dinkes Kabupaten Kediri segera mengambil sampel darah mereka untuk diperiksakan ke laboratorium. “Kami khawatir jika tidak ada pemeriksaan darah,ada warga yang tertular AI tetapi tidak diketahui,” ujarnya.
Plt Kasubdin P2PL (pencegahan penyakit, dan penyehatan lingkungan), dr Adi Laksono mengungkapkan, pengambilan sampel darah bisa dilakukan jika Anang memang postif flu burung. Jika belum dinyatakan positif, maka pihaknya belum bisa mengambil sampel darah dari keluarga maupun warga. ”Tetapi mohon maaf, yang bisa menyatakan korban positif AI atau tidak, hanya menteri kesehatan,” ujarnya.
Sebagai langkah antisipasi, kata Adi, pihaknya akan mengumpulkan warga guna sosialisi tentang flu burung.”Selain itu, lingkungan ini akan diberi vaksinasi,” ujarnya.(edi purwanto)

13 Tahun Kasus Marsinah

Keputusasaan Mulai Hinggapi Keluarga

Berbeda dengan Suciwati, istri almarhum Munir, yang terus berjuang hingga ke Amerika Serikat, Keluarga Marsinah cenderung putus asa. Mereka seperti tak perduli apakah kasus Marsinah terungkap atau tidak.

Seorang pria dengan pandangan sinis, berdiri di depan pintu.”Sudahlah mas, tidak ada apa-apa di sini,” kata pria berumur sekitar 50 tahun itu. Ia merupakan paman, dari seorang pahlawan serikat perkerja Indonesia itu. ”Mau tanya soal Marsinah, kami sudah lelah, dibawa kesana kemari tanpa ada kejelasan kasus Marsinah dituntaskan,” imbuhnya. ”Semua harta telah kami kerahkan hingga ludes semua. Pergi ke Jakarta sampai beberapa kali, semuanya menggunakan uang sendiri. Tapi hasilnya apa, kasusnya juga tidak tuntas,” lanjut pria itu.
Sedangkan Mbah Puirah, lebih bersemangat menanyakan pembunuh cucunya. Wanita yang mengalami penurunan daya ingat itu, justru perkataannya tetap meledak-ledak. ”Telu lakon uripku iki ngger (ada tiga perjalanan dalam kehidupanku ini nak Red),” ungkapnya. ”Salah satunya, ya kasusnya Marsinah,” sambungnya tetap menggunakan bahasa jawa. ”Sudah kubesarkan sejak kecil, ternyata pulang sudah menjadi mayat. Lek sampean ngerti pembunuhe kandani mbah ya (Kalau kamu mengerti siapa pembunuhnya, mbah diberitahu ya),” katanya.
Di bawah sebuah foto dengan tiga sertifikat di bawahnya, Mbah Puirah berhenti. ”Ini cucu saya yang meninggal itu,” katanya. Di bawah foto Marsinah, terdapat Piagam penghargaan Yap Thiam Hien tahun 1993, Piagam penobatan sebagai pahlawan pekerja Indonesia oleh SPSI, dan piagam penghargaan Pemerintah Kab. Nganjuk. ”Piye to ngger (bagaimana to nak), mbah sudah tidak tahu lagi,” ungkapnya.
Dibesarkan Mbah Puirah, Marsinah menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA di kota kelahirannya. Selain hobi membaca, lulusan SMA Muhammadiyah Nganjuk ini dikenal pekerja keras, dan tak mengenal rasa takut. Nampaknya dua sikap ini, yang membawanya menjadi aktivis buruh di tempatnya bekerja. Ia memperjuangkan ke-13 rekannya yang di PHK di Kodim Sidoarjo. Ia juga memimpin aksi memperjuangkan hak-hak buruh pada 4 Mei 1993-yang diduga kebanyakan orang-, berbuntut pada pembunuhan terhadap gadis manis itu.
Setelah hilang, jenazah Marsinah ditemukan pada sebuah gubuk di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk. Selanjutnya, seperti yang ditulis media kala itu, Marsinah diduga meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan. Ia diduga tewas akibat tusukan benda runcing. Perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, lengan serta pahanya lecet. Selain itu, selaput dara robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur.
Kemudian, pemilik dan staf manajemen PT CPS menghilang atas dugaan sebagai otak pembunuhan Marsinah. Mereka diseret ke pengadilan, atas dakwaan membunuh Marsinah. Motifnya, Marsinah dibunuh lantaran mengancam membocorkan kegiatan ilegal perusahaan memalsu arloji merek terkenal. Belekangan, para staf dan manajemen PT CPS dibebaskan Mahkamah Agung. Keputusan bebas murni itu, semakin menguak siapa pelaku pembunuhan sadis itu. Nampaknya kasus itu akan menjadi, sebuah pertanyaan seterjal jalan menuju ke makam Marsinah. Hingga sepantasnya, kita memahami keapatisan keluarga Marsinah, terhadap penegakan hukum di negeri ini.
Rentang waktu yang lama, kurang lebih 13 tahun, sejak jenazah Marsinah ditemukan tewas pada 9 Mei 1993, membuat pihak keluarga terkungkum dalam ketidakpastian. Silih berganti, wartawan, polisi, politisi, seniman, aktivis perempuan, aktivis HAM, mendatangi rumah keluarga Mbah Puirah. Tetapi semuanya hanya datang dan pergi. Mereka tak pernah memberi pencerahan bagaimana kasus Marsinah terungkap. ”Itu yang membuat kami terlalu lelah melayani tamu,” tukas Wiwit,19, salah satu cucu Mbah Puirah. (edi purwanto)

Mar 8, 2007

M Roziq,46, Pembudidaya Ikan Koi

18 Tahun Tanpa Sentuhan Dinas Perikanan

Kesabaran dan Ketekunan, menjadi kunci keberhasilan bagi M Roziq,46, warga Dusun Kuwut, Desa Kemloko, Kec. Nglegok, Kab. Blitar. Sudah 18 tahun ia menggeluti, dan menjadi salah satu perintis ikan yang termasuk dalam famili ikan Emas itu.

Memasuki rumah M Roziq, seperti nuansa pedesaan lainnya, sangatlah asri. Kolam dengan paduan tumbuhan keras, berada di depan rumah asri itu. Sementara di belakang rumah, juga terdapat puluhan kolam. Semuanya masih alami hingga kini. Tak ada bau amis layaknya kolam-kolam ikan. Yang ada hanyalah pemandangan indah ikan koi berenang di dalam sebuah kolam. Rata-rata ikan koi milik Roziq dari jenis Gosanke, termasuk diantaranya; Kohaku, Sanke, dan Showa. ”Saya memulai menekuni sebagai pembudidaya ikan koi profesional sejak 1988,” tutur Roziq ditemui di kolam pembenihan ikan koi jenis Sanke. Menurut dia, pada saat itu, belum ada ikan koi lokal. Yang ada hanya jenis ikan koi import dari Jepang. Kendala bibit itu, tak membuat putus asa. Hingga suatu ketika ia mendapat benih ikan koi dari sebuah showroom di Surabaya . ”Waktu itu, tidak ada namanya ikan koi lokal, kita harus mencoba mengawinkan atau beli induk import,” ungkapnya. Sebelum terjun membudidayakan ikan koi secara profesional pada usia 28 tahun, Rozid dan adiknya, Imam Muhson, sudah menekuni ikan hias. Mereka sudah mengembangkan ikan moli, ikan mas, maupun jenis ikan hias lainnya di kolam tradisional. Bisnis ikan hias itu kemudian beralih kepada budidaya ikan koi.
Awalnya, dari pertemuan para pembudidaya ikan koi, Roziq mendapat tawaran mengembangkan benih ikan dari Jepang itu. “Semula agak ragu. Namun karena keterdesakan ekonomi, akhirnya saya dan adik, nekat mengembangbiakkan ikan koi,” katanya didampingi Imam Muhson, adik kandung Roziq.
Keraguan itu masih berlanjut hingga setahun kemudian. Betapa tidak, meski telah berhasil menelurkan benih ikan koi ratusan ekor, tetapi sulit dipasarkan. Apalagi dekade 1980an, belum ada showroom-showroom ikan seperti saat ini. ”Pada saat itu, hanya ada dua di Surabaya dan Jakarta ,” ungkapnya
Setelah berjalan sekitar 2 tahun, kakak beradik itu, mengembangkan ikan koi jenis Gosanke, seperti Kohaku, Sanke, dan Showa. Kohaku merupakan ikan koi yang mempunyai warna dasar merah di atas warna putih. Sedangkan Sanke, mempunyai perpaduan warna merah dan hitam di atas warna putih. Pattern hitam tidak terdapat di kepala. Lain halnya, dengan Showa. Jenis ikan koi hitam ini warna dasarnya pattern warna merah dan putih.
Memulai dari tiga jenis ikan koi itu, keberhasilan mulai membayangi kedua kakak beradik itu. Roziq pada tahun 1990an mulai bisa mengembangkan diri. Beberapa kali, ia mengikuti kontes ikan koi di Jakarta , Semarang , mapun Surabaya . Kala itu, ia belum bisa menjadi juara dalam setiap kontes. Meletusnya Gunung Kelud pada 1991, juga berdampak bagi perkembangan ikan koi. Hampir seluruh kolam ikan milik Roziq dan Muhson, terkena lumpur. ”Semuanya mati. Kolam-kolam terisi pasir dari letusan Gunung Kelud,” imbuh Muhson.
Bencana alam itu, tak mematikan semangat mereka. Setahun kemudian mereka mendapatan satu benih induk import. Hasilnya, ikan yang dikembangbiakkan kedua orang itu, diminati penghobi ikan koi. Apalagi saat itu, showroom ikan di Surabaya , Semarang , dan Jakarta , sudah mau menerima ikan koi dari Blitar. Puncak kejayaan keduanya, terjadi setelah 5 tahun menekuni ikan koi. Seiring suksesnya usaha itu, membuat warga desa Kemloko berbondong menjadi petani sekaligus pembudidaya ikan koi. Meski banyak petani yang beralih menjadi pembudidaya ikan, namun peran kedua orang itu tak pernah tersingkir. Keduanya juga yang membentuk Kelompok Sumber Harapan Koi Club. Kelompok ini pernah menjadi Juara I Lomba Koi Tingkat Nasional pada 2003.
Kondisi perekonomian pun meningkat tajam seiring kesuksesan kakak beradik itu. Roziq membangun rumahnya di tengah kolam, begitu pula dengan Muhson. Setelah itu kondisi usaha mereka relatif stabil hingga 2002. Selanjutnya, virus herpes mulai menenggelamkan kejayaan itu. Seluruh pendapatan turun drastis sampai 70 persen. Bila pada saat masa jaya, Muhson meraih keuntungan bersih sekitar Rp120 juta, kini hanya sekitar Rp30 juta. Demikian pula dengan Roziq, keuntungannya turun sampai 70 persen. ”Saya kira virus herpes di semua negara pasti ada, termasuk di sini. Penyebabnya, dari pengalaman kami karena faktor cuaca. suhu sampai 18 derajat celcius termasuk kategori membahayakan bagi pembudidayaan ikan mas, karena terjadi penurunan dari suhu normal 22-26 derajat celcius. Dalam suhu rendah, akan mempercepat perkembangan virus," kata Roziq mencoba menganalisa.
Dengan kondisi seperti itu, menurut Roziq, ia berusaha menstabilkan suhu kolam agar ikannya sehat. Kemudian kebersihan harus dijaga. Dengan perlakuan seperti itu, setidaknya ikan-ikan terjaga dari herpes. ”Sejak awal kami memulai, sama sekali tak pernah ada petunjuk teknis maupun bantuan dana dari pemerintah. Padahal kami juga membawa nama harum Kab. Blitar,” kata Roziq.
Tidak ada perhatian dari pemerintah itu, yang membuat semuanya serba tak peduli. Termasuk pada pendirian sub raiser di kawasan Candi Penataran. Menurut Roziq, dari pada digunakan mendirikan sub raiser, mendingan uang sebanyak itu, digunakan untuk membantu modal petani. Keberadaan sub raiser yang baru diresmikan itu, perannya sudah tergantikan dengan pengepul-pengepul yang selama ini mendatangi langsung ke kolam pembudidaya. ”Mereka-mereka ini yang sebenarnya sub raiser sesungguhnya. Hingga saat ini kami belum pernah merasakan sentuhan dari keberadaan Sub Raiser di Penataran itu,” tukas Roziq diamini Muhson.(edi purwanto)

Jejak Kerajaan Singasari di Gunung Pegat


Blitar nampaknya merupakan jalur strategis pada pergulatan politik, era kejayaan Kerajaan Singasari, Dhaha, dan Majapahit. Sisa-sisa kejayaan itu, masih bisa dinikmati anak cucu seiring munculnya situs-situs purbakala di wilayah Kab. Blitar.

Tiga kerajaan besar pada zamannya itu menjadi dasar bagi Anang Christiana, untuk mengatakan, kalau situs Ngemplak, di Desa Bagelen, Kec. Srengat, Blitar, merupakan peninggalan Kerajaan Singasari. Sebagai bukti guna memperkuat asumsi awal itu, ia mengatakan, di sebelah selatan situs Ngemplak, terdapat Candi Wleri. Dalam buku Nagara Kertagama, candi tersebut merupakan makam Raja Kertanegara, Raja Kerajaan Singasari terakhir. ”Asumsi awal kami, situs tersebut berasal pada zaman peralihan Kerajaan Singasari menuju ke Kerajaan Majapahit,” ungkap arkeolog yang juga Staf Sejarah dan Kepurbakalaan, Dinas Informasi Publik dan Pariwisata, Pemkab Blitar, kemarin.
Seperti diketahui, di Dusun Ngemplak ditemukan tiga potongan arca, terdiri badan, kepala, dan kaki. Selain itu, Kasiyan,70, sang penemu, juga menemukan batu-batu pipih mirip genting, kemudian batu bata, dan batu sebesar kepala bayi. Menurut Anang, kaitan dengan peralihan Kerajaan Singasarai dengan Kerajaan Majapahit sangat kuat pada pada situs yang ditengarai merupakan suatu pertapaan itu. Batu pipih mirip genting tersebut juga ditemukan di Trowulan Mojokerto, demikian pula batu sebesar kepala bayi yang disebut border, juga banyak ditemukan. ”Karena kemiripan itu, kami mengasumsikan demikian,” kata Anang.
Lebih jauh Anang menjelaskan, border digunakan sebagai pondasi candi. Itu digunakan untuk memperkuat sisi candi. Sedangkan genting, fungsinya sama dengan genting saat ini. Yang beda, pada saat itu, gentingnya pipih layaknya papan kayu saja. Di Blitar merupakan wilayah potensial ditemukan situs kepurbakalaan, termasuk di Ngemplak. Lokasinya yang berada di lereng Gunung Pegat, dapat diperkirakan kalau situs-situs tersebut akan banyak ditemukan di sekitarnya. Ini lebih disebabkan kepercayaan pada saat itu. Gunung diyakini sebagai pusat ruh nenek moyang. Sehingga tak heran bila dibangun banyak pertapaan maupun candi di sekitarnya.
Selain faktor gunung, menurut Anang, letak Kab. Blitar memang sangat strategis karena berada diantara jalur transportasi sungai. Ini semakin diperkuat dengan temuan situs di daerah aliran sungai brantas. Seperti di Besole, Kec. Kanigoro, Blitar, di sana ditemukan sebuah tangga yang diprediksi merupakan pintu gerbang dermaga sungai brantas. Apalagi situs besole yang berbentuk tangga hanya berjarak sekitar 50 meter dari sungai.
”Saya kira Sungai Brantas masih menyimpan potensi ditemukan situs purbakala. Di Besole itu, juga dekat dengan Candi Simping, tempat makam Raden Wijaya. Sehingga dengan banyaknya penemuan itu, Blitar mempunyai posisi strategis kala itu,” ungkapnya.
Penemuan situs di Dusun Ngemplak, membuat warga berharap agar dilakukan penggalian di tempat penemuan tiga bagian arca itu. Muntholib, Ketua RT1 RW 4, Dusun Ngemplak, mengatakan, jika memang benar lokasi di belakang rumah Kasiyan, ditemukan situs purbakala yang demikian banyak, maka pihaknya sanggup membantu pemerintah. ”Kami sangat bangga dengan penemuan itu. Kalau mau digali, sebagai warga akan membantu pemerintah,” tukasnya.
Penemuan tiga bagian arca tersebut, kata Muntholib, sebenarnya sudah dimusyawarahkan ke Kepala Desa Bagelen. Namun sayang hingga penemuan tersebut dicek dinas terkait, belum ada tanggapan. Padahal masyarakat berharap ada penggalian serius di lokasi dengan luas sekitar 8 x 8 m2 itu. ”Jika memang penemuan tersebut akan menjadi candi besar, maka akan menjadi kebanggaan kami,” ujarnya.
Sedangkan Kasiyan, penemu arca tersebut, mengatakan, pihaknya memasrahkan semuanya pada pihak berwajib. Kalau tanahnya akan digali, pihaknya sebagai warga negara akan menyerahkannya.”Menurut mimpi saya di bawah rumah kami masih ada candi-candi. Jika diteliti secara ilmiah memang benar, kami akan merelakannya untuk digali,” harap Kasiyan.(edi purwanto)

”Pemugaran Simping; Janji Tinggalah Janji”


Edy Swara, dikenal sebagai penjaga Candi Simping, Desa Sumberjati, Kademangan, Blitar. Lelaki tak lulus SD itu, telah mengabdi di Candi Simping sejak 1977. Selama 29 tahun menjaga candi, harapan Edy hanya agar candi itu direnovasi sesuai miniatur peninggalan Kerajaan Majapahit.

Kabar pemugaran Candi Simping telah diterima Edy, lebih dari 10 tahun silam. Setiap pejabat Dinas Pariwisata maupun Kepurbakalaan, baik dari pusat maupun daerah, selalu mengatakan; ”Candi ini akan kami renovasi sesuai dengan aslinya”. Miniatur asli sekarang berada di Balai Penyelamatan Benda Kepurbakalaan Trowulan Mojokerto. ”Dari miniatur itu, Candi Simping akan direnovasi. Saya yakin, candi ini lebih gagah bila direnovasi,” ungkapnya keturunan ketiga Mbah Singoredjo, penjaga Candi Simping itu.
Alasan bapak 3 putra itu sangat masuk akal. Candi Simping dikenal pada zamannya, mulai Kerajaan Singasari hingga berdirinya, kerajaan sang pemersatu ibu pertiwi, Majapahit. Di kompleks candi dengan luas sekitar 25 x 25 m2 itu, sebelumnya terdapat patung Raden Wijaya. Juga ada lingga dan yoni, sebagai perwujudan kaum lelaki dan wanita. ”Sekarang patung Raden Wijaya sudah dibawa ke museum nasional di Jakarta. Yang tersisa hanya seperti ini,” tukasnya.
Meski terkesan merendah, tetapi hasil kerja warga Desa Sumberjati itu, tampak dari lokasi candi. Seluruh pagar dicat warna putih kendati menggunakan kapur. Sementara di samping pagar tersebut, terdapat nangkala yang ditemukan berantakan. Saat ini, sudah ditata rapi kendati tak sesuai dengan bentuk maupun bangunan candi. “Saya ini SD tak lulus. Jadi sebisa mungkin belajar sambil menata candi agar rapi tidak berantakan,” ujarnya.
Candi Simping juga mempunyai ciri khas sesuai candi yang dibangun pada Zaman Majapahit. Seperti menghadap ke barat, kemudian ada ukiran bunga teratai, dan ukiran ular dan kura-kura sebagai perwujudan Dewa Wisnu. Namun, candi itu kini berubah arah. Bila sebelumnya menghadap ke barat, sekarang pintu masuknya dari selatan. ”Berubahnya karena di samping pagar, tanahnya milik orang lain. Sehingga tak bisa digunakan,” kata Edy sambil tersenyum.
Kenapa bisa berubah? Edy hanya menggelengkan kepala. ”Sudah sejak zaman kakek saya. Dulu orang mematok tanah sudah bisa menjadi miliknya sampai sekarang,” katanya.
Sambil membenahi topinya, Edy menuturkan. Candi Simping tak bisa dilepaskan dari keberadaan Sungai Brantas, maupun candi-candi di sekelilingnya. Di luar kompkleks candi sebenarnya masih banyak batu-batu candi yang ditemukan. Arahnya melintang ke utara menuju ke Sungai Brantas. ”Mungkin dulu digunakan sebagai jalan dari Sungai Brantas menuju ke Candi Simping. Ini dapat dipahami, karena Sungai Brantas merupakan jalur perekonomian kala itu,” lanjut Edy bersemangat.
Sambil duduk di gubuk yang berada di pojok Candi Simping, Edy bersemangat membangun angan-angan. ”Jika dilakukan renovasi candi, saya hanya ingin menjadi kuli bangunan proyek pemugaran,” tukasnya. Menurut Edy, gajinya sebagai PNS tak cukup untuk membiayai kehidupannya. Karena itu, dia ingin menambah penghasilan dengan cara menjadi kuli bangunan, bila candi ini dibangun. ”Bagaimana cukup mas, anak saya 3, belum untuk membiayai mereka sampai SMA. Dengan gaji di bawah Rp1 juta, bisa dibayangkan bagaimana mengaturnya, pasti kalang kabut,” ungkap Edy.
Harapan Edy, kini tinggalah harapan. Janji-janji para pejabat, tinggalah janji. Candi Simping masih tegak berdiri meski tak direnovasi. Bongkahan Nangkala dan Mangkala, masih menjadi saksi bisu sebauah kejayaan era Majapahit. ”Dibongkar, direnovasi atau tidak, diperbaiki atau tidak, saya tetap hanya menjadi penjaga sebuah tanda kejayaan masa lalu. Buktinya hingga sekarang janji itu tinggalah janji,” kata Edy ketus.(edi purwanto)

Anakku Memakai Sepatu Setelah SMP

Pendidikan gratis ternyata hanya menyentuh warga di perkotaan. Jauh di pedalaman Kabupaten Kediri, tepatnya di kaki Gunung Wilis, janji manis pejabat negeri ini hanya sebuah isapan jempol.

Adalah Khoirul Anam,14, siswa Kelas I SMP Negeri Mojo yang merasakan kesenjangan pendidikan itu. Putra tunggal pasangan buruh tani, Wasini dan Santoso, warga Dusun Benggeng, Desa Jugo, Kecamatan Mojo, Kediri itu, harus bertaruh melawan terjalnya jalan, dan lingkungan di dusun tempat 19 KK (kepala keluarga) tinggal.

”Di sini, ada sekitar 20 anak lulusan SD. Mereka tidak melanjutkan sekolah karena keterbatasan dana. Sehingga saat ini, mereka hanya membantu orang tuanya mencari rumput,” ungkap Santoso, ditemui disela-sela Bupati Sutrisno memberi bantuan pada korban tanah longsor, akhir pekan lalu.

Di tengah lingkungan warga Dusun Benggeng, keluarga Santoso boleh dibilang keluarga yang gigih. Dengan bekerja sebagai buruh tani, ia bertekad menyekolahkan Khoirul Anam sampai setinggi-tingginya. Ia tak ingin anaknya putus sekolah seperti orang tuanya. ”Penghasilan saya tidak pasti. Kalau ada pekerjaan sehari saya menghasilkan uang Rp15 ribu,” tuturnya.

Dengan penghasilan yang sebenarnya jauh dari cukup itu, Wasini sebagai ibu rumah tangga, harus pandai mengatur keuangan. Setidaknya, uang transport untuk Khoirul harus diutamakan daripada memenuhi kebutuhan perut. ”Saya memberi uang transport Rp5 ribu untuk Khoirul. Jaraknya jauh dan harus naik angkutan menuju ke sekolah,” kata Santoso didampingi Wasini.

Menurut Wasini, dulu ketika Khoirul masih duduk di sekolah dasar, ia tak perlu risau untuk memberi uang saku. Cukup diberi uang Rp100 buat uang saku di sekolah. Sedangkan untuk menuju ke sekolah, Khoirul bisa berjalan menuju ke SDN Jugo II yang berjarak 3 km.

”Tetapi saya tidak tega ketika sudah masuk SMPN Mojo. Selain berjalan 3 km, ia harus naik pikup menuju ke sekolah dengan biaya pulang pergi Rp5 ribu,” kata Wasini sambil tersenyum simpul.

Kendati terasa berat, Wasini mengaku, harus berjuang sekuat tenaga agar Khoirul tetap melanjutkan sekolah. Ia percaya apa yang dilakukan saat ini akan berbuah manis. ”Saya tak ingin anak saya jadi buruh tani seperti saya. Karena itu, meski penghasilan tidak tentu, dia harus sekolah,” ungkapnya.

Sejak kelas I SD, menurut Wasini, Khoirul tidak pernah memakai sepatu bila ke sekolah. Jalan desa menuju ke sekolah becek dan licin sehingga dengan tidak memakai sepatu, bisa berjalan tanpa takut terpeleset. ”Ya sebenarnya bukan karena jalan, tetapi karena kami tak mampu membelikan sepatu,” lanjut Wasini sambil menutup bibirnya dengan tangan.

Kondisi itu dijalani Khoirul hingga 6 tahun. Setiap pagi, Khoirul harus berjalan menuju ke jalan utama di Desa Jugo. Jarak antara Dusun Benggeng menuju ke jalan utama sekitar 3 km. Kemudian untuk mencapai sekolah, harus berjalan sekitar 100 meter.

Lebar jalan berbatu itu sekitar 1.5 meter, dan dibangun di tepi jurang. Sehingga agar tidak terlambat sampai di sekolah, Khoirul harus berangkat pukul 04.30 WIB. Pada saat pulang sekitar pukul 12.30 WIB, ia baru sampai di rumah sekitar pukul 13.30 WIB.

Keadaan yang sama dialami Khoirul ketika duduk di kelas I SMP Negeri Mojo. Bedanya, pada saat kelas I, ia sudah mengenakan sepatu hadiah dari orang tuanya. Tetapi waktu yang ditempuh untuk pergi ke sekolah, lebih lama lagi. Dari jalan utama beraspal, Khoirul harus naik pikup Cevrolet menuju ke Kecamatan Mojo.

Untuk naik mobil ini, putra tunggal Suyanto itu, harus membayar Rp2500 sekali angkut. Bila pulang pergi, ia harus menghabiskan Rp5 ribu. ”Karena keterbatasan itu, bapaknya Khoirul mencalonkan Ketua RT. Orang sini, tidak bisa maju kalau tidak dikoordinir,” kata Wasini.

Pada awal 2007, Santoso terpilih menjadi ketua RT. Karena itu, ketika Bupati Sutrisno mengunjungi Dusun Benggeng, Santoso menjadi orang yang paling berani berpendapat. Menurutnya, pembangunan jalan menuju ke Dusun Benggeng harus diperbaiki. Sehingga perjalanan anak-anak SD menuju ke sekolah menjadi lancar.

Akhirnya usul itu disepakati orang nomor satu di Pemkab Kediri itu. Bupati berjanji akan membangun akses jalan. Sehingga aktivitas warga bisa lancar dan tidak membutuhkan waktu lama. ”Mudah-mudahan Bupati Kediri menepati janjinya,” kata Santoso.(edi purwanto)

Ujian itu; Anak Tanpa Anus

Anak merupakan anugerah Tuhan YME yang tak terhingga nilainya. Siapapun orangtua, tak akan menginginkan anaknya lahir tanpa anus. Namun, lakon kehidupan itu yang harus dijalani pasangan suami istri Muhfid,29, dan Kartini,29, warga Desa Banjarejo, Kecamatan Ngadiluwih, Kediri. Mohammad Maulana,1, putra kedua pasangan penjual alat kebersihan tradisional itu lahir tanpa anus.


Rumitnya birokrasi negeri ini, telah menelantarkan seorang anak manusia hingga ke titik nadhir. Kartu jaring pengaman (JPS) sosial bukanlah solusi di meja operasi. Maulana, sepertinya adalah korban kesekian kali keegoisan pranata sosial negeri yang dikenal gemah ripah loh jinawi ini. Air mata telah menjadi teman, sekaligus sahabat bagi Kartini. Karena hanya itu yang bisa dikerjakan selain berusaha agar Maulana dioperasi sehingga mempunyai lubang anus.

Tiada kata menyesal melahirkan anak itu. Karena perekonomianlah yang membuat mata ibu muda itu selalu sembab, tatkala memandang Maulana yang tergolek lemas. Entah berapa kali dalam sehari, ia membuang kotoran melalui sebuah lubang di bagian samping perut sebelah kanan. Kesabaran Kartini kian diuji. Dalam hitungan itu pula, ia harus mengganti popok yang telah berbau kotoran manusia.

Rumah seluas 8 x 10 m2 itu, terasa kian sempit. Kain-kain tersebar di sembarang tempat menambah rumit suasana. Kondisi itu diperparah kakak Maulana. Febriana Fitri yang baru berumur 9 tahun terkadang bermain-main di dalam rumah. Sehingga membuat semuanya serba tak teratur, dan nyaris boleh di bilang berantakan.

Maklum, Muhfid dan Kartini harus berangkat pagi-pagi ke Pasar Ngadiluwih, yang berjarak sekitar 500 meter dari desa mereka. Di sana mereka mengadu nasib menjadi pedagang alat-alat kebersihan tradisional. Sayangnya meski banting tulang hingga siang hari, penghasilan dari menjual pengki, sapu lidi, maupun peralatan rumah tangga terbuat dari kayu, tak mencukupi kebutuhan hidup.

Dalam sehari, keduanya menghasilkan uang atau laba Rp10 ribu sampai Rp20 ribu. Tetapi melonjaknnya harga bahan makanan seiring kenaikan harga BBM, membuat uang Rp20 ribu hanya cukup untuk makan sehari. ”Mungkin kalau kami punya sawah bisa lebih menghemat keuangan. Tetapi penghasilan kami hanya dari berdagang abrakan (peralatan kebersihan dan rumah tangga dari kayu),” tukas Muhfid.

Di sela-sela kepergian ayah ibunya, Maulana hanya tergolek di pembaringan lusuh. Di waktu lain bila tidak demam atau flu, si kecil yang akrab dipanggil lanang itu, bermain bersama Murti, neneknya. Terkadang bila sang ibu duduk di sampingnya, bocah berkulit kuning langsat itu menggelayut manja. Muhfid sebagai kepala rumah tangga seakan kehabisan akal untuk berusaha.”Sudah kemana saja saya mencari bantuan tetapi tak kunjung berhasil,” tandas Muhfid
Kebahagian bertirai kesedihan itu bermula setahun silam. Perut Kartini yang membuncit sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Siang itu, ketika menunggu kios sempitnya, perut Kartini terasa mual. Semula rasa mual itu, ia tak pernah rasa berlebihan. Rasa itu kian tak terkendali. Hati kecilnya berkata, ia akan melahirkan anak kedua. ”Saya kemudian meminta bapaknya Fitri mengantarkan pulang,” tutur Kartini.


Dengan diantar beberapa pedagang, Kartini pulang dengan dipapah. Ia langsung dibawa menuju ke rumah salah satu bidan tetangga rumahnya. Di sana, dinding, dan atap ruang bersalin, menjadi saksi bisu perjuangan antara hidup dan mati. Menjelang Salat Magrib, tangis putra kedua Muhfid memecah ketenangan warga Desa Banjarejo. ”Karena lahir menjelang Salat Magrib, ia kami beri nama Muhammad Maulana agar menjadi manusia yang berbakti kepada agama, bangsa dan negaranya ,” kata Kartini sembari mengenang proses kelahiran Maulana.

Hingga sehari dilahirkan, Maulana tidak menunjukkan tanda-tanda buang air besar. Bayi berumur dua hari itu, sering memuntahkan makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Di sela memuntahkan air susu dari ibunya, Maulana menangis sejadi-jadinya. Ini yang membuat kedua orangtuanya curiga. Ia kemudian dibawa ke bidan tempat melahirkan

Bidan yang membantunya segera memeriksa seluruh bagian tubuh Maulana. Hasilnya, bayi mungil ini diketahui tidak memiliki lubang kotoran atau anus."Padahal anak yang baru dilahirkan rata-rata langsung buang air. Ini tidak terjadi pada anak saya," jelas Kartini.


Hal yang beda dengan kondisi normal membuat bidan merujuk bayi Kartini ke RSUD Gambiran Kota Kediri. Selanjutnya, dengan susah payah Muhfid dan Kartini, membiayai operasi pembuatan saluran sementara pada perut sebelah kanan. Lubang itu sebagai pengganti dubur. Pertolongan tersebut sifatnya hanya sementara. Itu dilakukan hingga Maulana berumur 1 tahun dan memiliki berat badan 10 kg agar siap dioperasi untuk pembuatan anus.

”Kami harus mengeluarkan dana Rp2.5 juta untuk operasi pembuatan lubang sementara itu,” tandas Kartini. Uang Rp2.5 juta bagi keluarga Muhfid sangatlah besar. Kendati bekerja 5 bulan, belum tentu mendapat uang sebanyak itu. Apalagi, keluarga Muhfid tidak termasuk pasien Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Perjuangan tak berhenti pada saat Maulana memiliki lubang sementara. Justru setelah operasi, kesabaran mereka kian diuji. Membesarkan Maulana bukan perkara mudah. Hampir tiap jam bayi yang baru beberapa hari menatap dunia itu, selalu menangis. Penyebabnya adalah lubang pada perut Maulana selalu mengeluarkan kotoran. ”Kami bergantian menjaga Maulana,” sambung Muhfid.
Pola makan yang diberikan kepada Maulana juga diatur sedemikian rupa. Kendati penghasilan pas-pasan, untuk makan putranya, Kartini selalu memilih dan memilah. Kebanyakan selalu diberi pisang dan susu. Makanan itu diberikan dengan tujuan agar Maulana tidak terlalu sakit begitu buang air besar. Persoalan popok jangan ditanya. Setiap hari bisa 10 sampai 15 popok kotor karena terkena kotoran Maulana. Demikian perjuangan itu dilakoni Muhfid dan Kartini selama setahun. Begitu menginjak satu tahun, mereka kembali membawan Maulana ke RSUD Gambiran untuk pembuatan anus. Sayangnya keinginan itu pupus di tengah jalan. Tim dokter yang sebelumnya menangani Maulana, menyatakan tidak sanggup membuat anus karena keterbatasan alat. Mereka justru dianjurkan membawa Maulana ke RSUD dr Soetomo Surabaya untuk berobat.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini mereka mengurus surat JPS di kantor desa setempat, agar terdaftar sebagai pasien tidak mampu.

Berbekal kartu JPS itulah mereka kemudian membawa Maulana ke Surabaya. Sesampainya di Surabaya, lagi-lagi pasangan Muhfid dan Kartini harus gigit jari. Pasalnya, pihak rumah sakit meminta agar mereka mengantri untuk bisa mendapatkan tempat tidur khusus pasien JPS.

"Menurut petugas di sana, jatah pasien JPS sudah habis. Kami harus antri untuk bisa mengobatkan Maulana. Sampai satu bulan antri tidak ada pemberitahuan lagi," keluh Kartini.

Kini, keluarga miskin ini masih menunggu uluran tangan dari Pemerintah Kabupaten Kediri, khususnya Dinas Kesehatan agar memberikan bantuan pengobatan kepada Maulana. Sebab hingga kini mereka harus berjuang sendiri demi kesembuhan Maulana yang terus beranjak besar.

Beruntung mereka masih bisa bernafas lega ketika dr Syamsul Azhar SpD, salah seorang dokter penyakit dalam di RSUD Gambiran beritikad baik menolong Maulana. Ia berjanji akan membawa persoalan itu ke beberapa rekan dokter untuk memberikan pengobatan secara gratis.

"Saya akan berusaha mengetuk hati rekan-rekan dokter yang mengetahui penyakit ini. Mudah-mudahan mereka mau memberikan pengobatan gratis kepada Maulana," jelas dr Syamsul di Klinik Dahlia, Jumat (12/1/2007

Ujian itu; Anak Tanpa Anus

Anak merupakan anugerah Tuhan YME yang tak terhingga nilainya. Siapapun orangtua, tak akan menginginkan anaknya lahir tanpa anus. Namun, lakon kehidupan itu yang harus dijalani pasangan suami istri Muhfid,29, dan Kartini,29, warga Desa Banjarejo, Kecamatan Ngadiluwih, Kediri. Mohammad Maulana,1, putra kedua pasangan penjual alat kebersihan tradisional itu lahir tanpa anus.


Rumitnya birokrasi negeri ini, telah menelantarkan seorang anak manusia hingga ke titik nadhir. Kartu jaring pengaman (JPS) sosial bukanlah solusi di meja operasi. Maulana, sepertinya adalah korban kesekian kali keegoisan pranata sosial negeri yang dikenal gemah ripah loh jinawi ini. Air mata telah menjadi teman, sekaligus sahabat bagi Kartini. Karena hanya itu yang bisa dikerjakan selain berusaha agar Maulana dioperasi sehingga mempunyai lubang anus.

Tiada kata menyesal melahirkan anak itu. Karena perekonomianlah yang membuat mata ibu muda itu selalu sembab, tatkala memandang Maulana yang tergolek lemas. Entah berapa kali dalam sehari, ia membuang kotoran melalui sebuah lubang di bagian samping perut sebelah kanan. Kesabaran Kartini kian diuji. Dalam hitungan itu pula, ia harus mengganti popok yang telah berbau kotoran manusia.

Rumah seluas 8 x 10 m2 itu, terasa kian sempit. Kain-kain tersebar di sembarang tempat menambah rumit suasana. Kondisi itu diperparah kakak Maulana. Febriana Fitri yang baru berumur 9 tahun terkadang bermain-main di dalam rumah. Sehingga membuat semuanya serba tak teratur, dan nyaris boleh di bilang berantakan.

Maklum, Muhfid dan Kartini harus berangkat pagi-pagi ke Pasar Ngadiluwih, yang berjarak sekitar 500 meter dari desa mereka. Di sana mereka mengadu nasib menjadi pedagang alat-alat kebersihan tradisional. Sayangnya meski banting tulang hingga siang hari, penghasilan dari menjual pengki, sapu lidi, maupun peralatan rumah tangga terbuat dari kayu, tak mencukupi kebutuhan hidup.

Dalam sehari, keduanya menghasilkan uang atau laba Rp10 ribu sampai Rp20 ribu. Tetapi melonjaknnya harga bahan makanan seiring kenaikan harga BBM, membuat uang Rp20 ribu hanya cukup untuk makan sehari. ”Mungkin kalau kami punya sawah bisa lebih menghemat keuangan. Tetapi penghasilan kami hanya dari berdagang abrakan (peralatan kebersihan dan rumah tangga dari kayu),” tukas Muhfid.

Di sela-sela kepergian ayah ibunya, Maulana hanya tergolek di pembaringan lusuh. Di waktu lain bila tidak demam atau flu, si kecil yang akrab dipanggil lanang itu, bermain bersama Murti, neneknya. Terkadang bila sang ibu duduk di sampingnya, bocah berkulit kuning langsat itu menggelayut manja. Muhfid sebagai kepala rumah tangga seakan kehabisan akal untuk berusaha.”Sudah kemana saja saya mencari bantuan tetapi tak kunjung berhasil,” tandas Muhfid
Kebahagian bertirai kesedihan itu bermula setahun silam. Perut Kartini yang membuncit sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Siang itu, ketika menunggu kios sempitnya, perut Kartini terasa mual. Semula rasa mual itu, ia tak pernah rasa berlebihan. Rasa itu kian tak terkendali. Hati kecilnya berkata, ia akan melahirkan anak kedua. ”Saya kemudian meminta bapaknya Fitri mengantarkan pulang,” tutur Kartini.


Dengan diantar beberapa pedagang, Kartini pulang dengan dipapah. Ia langsung dibawa menuju ke rumah salah satu bidan tetangga rumahnya. Di sana, dinding, dan atap ruang bersalin, menjadi saksi bisu perjuangan antara hidup dan mati. Menjelang Salat Magrib, tangis putra kedua Muhfid memecah ketenangan warga Desa Banjarejo. ”Karena lahir menjelang Salat Magrib, ia kami beri nama Muhammad Maulana agar menjadi manusia yang berbakti kepada agama, bangsa dan negaranya ,” kata Kartini sembari mengenang proses kelahiran Maulana.

Hingga sehari dilahirkan, Maulana tidak menunjukkan tanda-tanda buang air besar. Bayi berumur dua hari itu, sering memuntahkan makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Di sela memuntahkan air susu dari ibunya, Maulana menangis sejadi-jadinya. Ini yang membuat kedua orangtuanya curiga. Ia kemudian dibawa ke bidan tempat melahirkan

Bidan yang membantunya segera memeriksa seluruh bagian tubuh Maulana. Hasilnya, bayi mungil ini diketahui tidak memiliki lubang kotoran atau anus."Padahal anak yang baru dilahirkan rata-rata langsung buang air. Ini tidak terjadi pada anak saya," jelas Kartini.


Hal yang beda dengan kondisi normal membuat bidan merujuk bayi Kartini ke RSUD Gambiran Kota Kediri. Selanjutnya, dengan susah payah Muhfid dan Kartini, membiayai operasi pembuatan saluran sementara pada perut sebelah kanan. Lubang itu sebagai pengganti dubur. Pertolongan tersebut sifatnya hanya sementara. Itu dilakukan hingga Maulana berumur 1 tahun dan memiliki berat badan 10 kg agar siap dioperasi untuk pembuatan anus.

”Kami harus mengeluarkan dana Rp2.5 juta untuk operasi pembuatan lubang sementara itu,” tandas Kartini. Uang Rp2.5 juta bagi keluarga Muhfid sangatlah besar. Kendati bekerja 5 bulan, belum tentu mendapat uang sebanyak itu. Apalagi, keluarga Muhfid tidak termasuk pasien Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Perjuangan tak berhenti pada saat Maulana memiliki lubang sementara. Justru setelah operasi, kesabaran mereka kian diuji. Membesarkan Maulana bukan perkara mudah. Hampir tiap jam bayi yang baru beberapa hari menatap dunia itu, selalu menangis. Penyebabnya adalah lubang pada perut Maulana selalu mengeluarkan kotoran. ”Kami bergantian menjaga Maulana,” sambung Muhfid.
Pola makan yang diberikan kepada Maulana juga diatur sedemikian rupa. Kendati penghasilan pas-pasan, untuk makan putranya, Kartini selalu memilih dan memilah. Kebanyakan selalu diberi pisang dan susu. Makanan itu diberikan dengan tujuan agar Maulana tidak terlalu sakit begitu buang air besar. Persoalan popok jangan ditanya. Setiap hari bisa 10 sampai 15 popok kotor karena terkena kotoran Maulana. Demikian perjuangan itu dilakoni Muhfid dan Kartini selama setahun. Begitu menginjak satu tahun, mereka kembali membawan Maulana ke RSUD Gambiran untuk pembuatan anus. Sayangnya keinginan itu pupus di tengah jalan. Tim dokter yang sebelumnya menangani Maulana, menyatakan tidak sanggup membuat anus karena keterbatasan alat. Mereka justru dianjurkan membawa Maulana ke RSUD dr Soetomo Surabaya untuk berobat.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini mereka mengurus surat JPS di kantor desa setempat, agar terdaftar sebagai pasien tidak mampu.

Berbekal kartu JPS itulah mereka kemudian membawa Maulana ke Surabaya. Sesampainya di Surabaya, lagi-lagi pasangan Muhfid dan Kartini harus gigit jari. Pasalnya, pihak rumah sakit meminta agar mereka mengantri untuk bisa mendapatkan tempat tidur khusus pasien JPS.

"Menurut petugas di sana, jatah pasien JPS sudah habis. Kami harus antri untuk bisa mengobatkan Maulana. Sampai satu bulan antri tidak ada pemberitahuan lagi," keluh Kartini.

Kini, keluarga miskin ini masih menunggu uluran tangan dari Pemerintah Kabupaten Kediri, khususnya Dinas Kesehatan agar memberikan bantuan pengobatan kepada Maulana. Sebab hingga kini mereka harus berjuang sendiri demi kesembuhan Maulana yang terus beranjak besar.

Beruntung mereka masih bisa bernafas lega ketika dr Syamsul Azhar SpD, salah seorang dokter penyakit dalam di RSUD Gambiran beritikad baik menolong Maulana. Ia berjanji akan membawa persoalan itu ke beberapa rekan dokter untuk memberikan pengobatan secara gratis.

"Saya akan berusaha mengetuk hati rekan-rekan dokter yang mengetahui penyakit ini. Mudah-mudahan mereka mau memberikan pengobatan gratis kepada Maulana," jelas dr Syamsul di Klinik Dahlia, Jumat (12/1/2007

Logika Gaplek, Gengsi Atau Kebutuhan Perut



Harga beras yang melambung sejak Januari 2007, menjadi masalah yang rumit bagi masyarakat. Ini dapat dipahami, harganya sudah diambang batas kemampuan maksimal daya beli masyarakat. Satu kilogram beras sudah menembus harga Rp6 ribu. Padahal dengan harga beras Rp4 ribu per kilogram, masyarakat banyak yang tak mampu membeli
butiran putih itu.

Kondisi tersebut, lantas tidak dipahami masyarakat dengan sikap patah arang. Hidup masih berjalan, dan roda kehidupan belum berhenti akibat beras mahal. Masyarakat di lapisan bawah terutama kalangan kuli bangunan, dan lapisan yang jauh di bawahnya, harus mengencangkan ikat pinggang.

Bertahun-tahun masyarakat kelas bawah banting tulang, yang diikuti pula dengan budaya mengencangkan tali pinggang lebih erat. Seorang sahabat sedari kecil, pernah bertutur, dalam sehari ia pernah tak bisa memberi keluarganya satu kilogram beras. Penghasilan sebagai buruh pertanian dan terkadang menjadi kuli bangunan, tak lebih dari Rp15 ribu.

Dengan penghasilan sebesar itu, jelas tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum keluarga. Bila dirinci, untuk saat ini uang Rp6 ribu hanya cukup beli satu Kg beras. Ini belum termasuk untuk beli sayur dan lauk seperti tempe. Belum lagi biaya sekolah kedua anaknya yang sudah duduk di sekolah dasar.

Dengan segala keterbatasan, teman tersebut bertahan. Untuk makan sehari-hari, beras satu kg diulur-ulur hingga berhari-hari. Caranya, dengan dicampur butiran jagung yang ditanak. Akhirnya tampaklah butiran kuning tersebar di antaran butir-butir nasi.

Cara seperti itu dilakukan masyarakat di pedesaan yang ada di lereng Gunung Kelud dan sekitarnya. Sedangkan pada warga yang tinggal di pegunungan kidul, nasi terkadang dicampur dengan butiran tiwul. Tips bertahan hidup ala pedesaan ini, cukup efektif menghalau serangan beras yang harganya sudah selangit.

Yang menjadi masalah, berani atau tidak, untuk melakukan itu. Betapa tidak dalam rentang 30 tahun kehidupan negeri ini, masyarakat cenderung didorong untuk mengkonsumsi nasi. Gengsi kehidupan mewah adalah dengan makan nasi.

Image yang muncul kemudian, adalah makanan gaplek dan jagung merupakan milik masyarakat pedesaan. Sehingga meski sudah memakan singkong, tetap saja masyarakat belum menganggap sarapan alias makan nasi.

Kini yang menjadi pertanyaan, sudahkah gengsi kita mengalahkan kebutuhan perut. Padahal ada alternatif bahan makan yang sudah tersedia, dan lebih murah dari sekadar beras. Atau, pemerintah yang kurang mendorong masyarakat untuk memakan bahan pangan alternatif ini.

Bila tidak, sungguh sombong masyarakat kita. Di tengah bencana melanda, dan ketidaktentuan ekonomi, kita tetap menaruh gengsi di atas segala-galanya. Kalangan elit pemerintah dan politik pun, harus instropeksi. Jangan menari diatas perut-perut kempes karena tak kuat beli beras. Namun ironi seperti itu, nampaknya tetap dibangun untuk dipertahankan tirani kekuasaan.

Kembali pada gaplek. Bahan makanan ini, diolah dari ubi ketela pohon atau singkong. Untuk memproduksinya, sangat mudah. Ubi singkong kemudian dikupas dan dikeringkan. Ubi yang sudah kering, kemudian ditumbuk sebagai tepung tapioka yang bisa dibuat bermacam-macam kue. Tepung dari gaplek selanjutnya bisa dibuat menjadi nasi tiwul yang gurih.
Dari berbagai catatan, kebutuhan kalori manusia yang mencapai 2000 kalori per hari, sebenarnya tak hanya dipenuhi dari nasi. Sejumlah makanan maupun minuman lainnya, akan menjadi tambahan energi. Sebagai perbandingan, dalam satu kali makan, setidaknya harus memenuhi kalori hingga 175 kalori atau 100 gram nasi.
Kebutuhan akan kalori, sebenarnya bisa dipenuhi dari singkong. Sebagai data masukan, 100 gram nasi jagung atau 200 gram singkong. Bisa juga dengan mengonsumsi 150 gram ubi atau 200 gram talas.

Indonesian Nutrition Network, mengungkapkan, banyak penelitian yang membuktikan nutrisi atau kandungan gizi jagung, ubi kayu, ketela rambat, ganyong, sukun, talas, gembili, kentang lokal, bahkan suweg tak kalah dengan beras ataupun gandum.

Data FAO (1972) menyebutkan, kalori beras merah, beras giling, ubi kayu kering, dan gandum hampir sama, masing-masing 354, 366, 349, dan 346 kalori. Fakta tersebut diperkuat oleh data Direktorat Gizi Depkes (1981). Kalori beras giling, tepung terigu, dan tepung gaplek rata-rata mencapai 360 kalori, masing-masing 360, 365, dan 363.

Bahkan, tepung gaplek lebih tinggi tiga kalori dibanding dengan beras. Kandungan karbohidrat tepung gaplek lebih tinggi, mencapai 88,2 gram, sementara beras giling 78,9 gram dan tepung gandum 77,3 gram.

Kini, bola ketahanan pangan ada pada pemerintah, masyarakat, dan individu-individu, yang tinggal di negeri gemah ripah loh jinawi. Masihkah kita menaruh gengsi di atas segala-galanya. Silakan bertahan dan mencoba, hingga harga beras tak terjangkau masyarakat kita. (edi purwanto; edp_snkota@yahoo.com)


Pencerahan Dari Pinggir Jalan Dhoho


Dengan uang kita bisa membeli buku, tetapi tidak ilmu pengetahuan. Dengan uang kita bisa membeli rumah bukan tempat tinggal. Dengan uang kita bisa membeli jam, tetapi bukan waktu.

Nasihat China

Petikan nasihat orang-orang bijak itu, nampaknya sebanding lurus dengan apa yang di alami sebuah toko di Jalan. Raya Dhoho Kota Kediri. Dari papan namanya, seabad lalu, dengan mudah orang akan mengatakan bangunan itu, merupakan toko buku. Dalam bahasa Belanda, disebut Boekhandel. Di belakangnya tercantum tulisan Tan Khoen Swie.

Sebuah kejayaan intelektual dibangun dalam rentang waktu tahun 1883-1953. Dalam pada itu, Tan Khoen Swie merupakan pemilik toko buku, yang disebut-sebut sebagai orang pertama di Indonesia yang mengubah tradisi tutur menjadi mencetak pada sebuah kertas. Dari tangan dingin pria tionghoa ini, lahirlah pemikiran-pemikiran sastrawan jawa. Sebut saja karya pujangga Surakarta R. Ngabehi Ronggowarsito berjudul Kalatida, hingga kini masih tersimpan rapi. Demikian pula dengan karya Tiga Sastra, dan Wedha Satya. Kitab Wulang Reh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV.

Kini toko yang dulunya bernama Boekhandel Tan Khoen Swie telah berubah. Semuanya sudah kusam. Cat putih dan biru yang dulu mendominasi kini kian kabur dimakan usia. Pada pintu depan, terdapat papan kayu biru kusam bertuliskan Toko Surabaya, yang menjual bahan makanan seperti abon, dendeng, krupuk, dan makanan pelengkap lainnya.

Di selatan toko yang menjual makanan itu, terdapat sebuah ruang praktek dokter gigi. Di situlah, Drg Sutjahjo Gani, cicit Tan Khoen Swie menjalankan profesinya.

Sisa-sisa kejayaan itu masih nampak. Begitu masuk ke dalam toko makanan, tergantung foto-foto kuno tentang Tan Khoen Swie. Di dalam foto itu juga terdapat, beberapa nama pujangga tenar pada masanya, RNg Ronggowarsito, Mangkoenagoro IV, RNg Yosodipuro, Ki Padmosusastro.

Setelah melintas ruang etalase toko penganan, kesan kumuh serta kuno mulai tampak. Tetapi jangan berhenti di situ, perjalanan menyimak kejayaan legendaris penerbit buku, baru di mulai. Di belakang bangunan toko, terdapat bangunan mirip sebuah hotel berdiri kokoh. Model arsitekturnya khas bangunan pada zaman Belanda. Memanjang dari utara ke selatan, bangunan tersebut sangat asri. Di belakang bangunan juga terdapat satu makam leluhur.

Pada bagian bawah, menurut Drg Sutjahjo Gani, merupakan lantai yang digunakan sebagai gudang penerbitan. Sedangkan di pada lantai dua merupakan kantor sekaligus ruang etalase buku. Di sini terdapat sekitar 5 kamar yang sampai sekarang masih digunakan sebagai tempat tinggal. ”Ini merupakan titipan buyut saya. Kendati ahli warisnya bukan saya, tetapi saya berkewajiban menjaganya,” tukas Gani.

Bagian paling atas rumah bergaya Cina itu, mirip kelenteng. Masuk ke loteng yang berada pada puncak bangunan, harus melalui lorong bertangga yang dipenuhi kamar-kamar. Di situlah para pujangga terkenal, tinggal beberapa bulan untuk menuangkan pikirannya ke dalam kertas. Untuk selanjutnya dicetak dalam buku-buku Khoen Swie. Sehingga tak heran, bila buku Aji Asmaragama, Ahli Nujum, Aturan Supaya Awet Muda dan Panjang Umur, Primbon Mengadu Jago, Suluh Kesempurnaan, Taman Kekuatan Gaib "Sihir", Aji Japa Mantra, Sech Siti Jenar, hingga buku teologi, Kawruh Pekih, Sukmowiworo Kawruh Theosofie, Riwayat Nabi Kongcu, Kitab Tarekat, menghiasi rak di ruang paling atas bangunan. ”Meski hanya merawat, saya seperti berada di dalam lautan ilmu yang tak terbatas. Hanya tinggal mengasah minat baca, maka semua ilmu ada di kamar ini,” ungkap Gani.

Dalam berbagai literaturnya, Tan Khoen Swie diperkirakan lahir di Wonogiri, Jawa tengah, sekitar 1833. Dalam berbagai riwayat, Ia tak pernah sekolah tetapi bisa membaca dan menulis diperolehnya dari seorang guru yang setiap hari mengajar di Keraton Solo. Pada suatu ketika, tanpa sadar ketika mengintip proses belajar dan mengajar di keraton Solo, Tan Khoen Swie bisa menjawab pertanyaan yang diajukan guru. Sehingga kemudian menjadi murid di situ. Setelah menikah dengan gadis Surabaya, Liem Gien Nio, ia memulai bisnis toko buku sekaligus penerbitan.

Sejak 1883 hingga 1982, lebih dari 400 judul buku berhasil diterbitkan. Yang paling kontroversial ada pada masa rezim Soeharto. Dua buku terbitan Tan Khoen Swie dilarang beredar. Kedua bukunya, berjudul Gatolotjo dan Darmogandoel. Gatolotjo dinilai melecehkan sebuah agama di Indonesia. Selain kedua judul itu, Tan Khoen Swie juga menerbitkan, buku filsafat Jawa, pengetahuan olah rasa, rahasia wanita, pengobatan tradisional, sejarah, sampai dunia binatang.

Hebatnya pada tahun-tahun itu, Tan Khoen Swie juga menjadi pelopor hak cipta. Setiap penulis selalu diberi satu kuitansi yang berisi jaminan atas karya ciptanya. Dan hingga saat ini, kuitansi tersebut masih tersimpan di sudut ruang tempat penyimpanan buku. Kini dari ketiga anak Tan Khoen Swie, hanya Michael Tanzil yang menaruh perhatian terhadap penerbitan. Tetapi Michael hanya mengelola sampai 1963. Sebelum pindah ke Jakarta dia sempat menerbitkan buku untuk dicetak ulang. Sebelum Michael meninggal, ia menyerahkan semua aset dari Tan Khoen Swie kepada istrinya, Yuriah Tanzil. Kini buku-buku Tan Khoen Swie yang tersimpan di lantai atas, siap menjadi pitutur dalam bentuk cetakan buku.(edi purwanto)

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog