Widgetized Footer

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sep 16, 2010

Ketika Petruk Kembali Fitri

Dua puluh tahun yang silam, sebagai bagian anak-anak yang tumbuh dan besar di Pulau Jawa, pengaruh tokoh yang satu ini memang luar biasa. Kehadirannya bersama para punakawan selalu membuat mata kami terbelalak di tengah kantuk yang semakin mendera.
Kadang mulut kami tertawa terbahak-bahak di tengah malam. Bahkan perut dibuat sakit ulah kocak sang dalang. Petruk dan saudara-saudaranya, Gareng, Bagong, selalu hadir dalam panggung keber wayang kulit.

Suara Semar Bodronoyo yang khas kawula alit dalam adegan goro-goro, selalu menarik untuk disimak, dimengerti dan dipraktikkan dalam lingkungan dolanan. Seperti goyangannya Petruk dengan tangan diangkat lantas menuding ke bawah. Kami artikan itu sebagai sosok perlambang rendah hati.

Atau goyangnya Bagong dengan tubuhnya yang cebol dengan tangan megal-megol. Sering kami menirunya dengan gerakan kocak sekadar bergurau antarteman. Kisah Petruk Dadi Ratu memang tak mendayu-dayu seperti cerita sinetron Ketika Cinta Bertasbih atau Cinta Fitri yang terus bersambung itu.Namun kisah Petruk seperti terekam antara sadar dan tidak. Dia bertutur tentang kehidupan dari kawula alit lantas jadi ratu gila kekuasaan dan kembali lagi jadi wong cilik.

Alkisah Dawala alias Kantong Bolong atau Dublajaya, mendadak tenar dalam kisah Ambangan Candi Spataharga/Saptaraga. Pentungpinanggul atau yang akrab disapa Petruk itu berhasil memegang pusaka nomor wahid, serat Jamus Kalimasada.

Dalam berbagai kitab di dunia maya alias internet, Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada. Dia menyelinap dengan menyamar sebagai kerabat Pandawa, Gatot Kaca. Negeri para dewa pun geger mirip lakon Goro-goro. Para pemimpin dunia fana kelimpungan mencari kitab yang disebut-sebut sebagai Kalimat Syahadat dalam versi dakwah Sunan Kalijaga. Dan Petruk pun memberontak tatanan sebagai abdi dalem.

Sebagai anggota punakawan yang artinya teman yang paham majikannya, Petruk seperti ”memberontak” majikan. Apa niat Petruk jadi ratu pun tak banyak yang tahu -barangkali yang tahu hanya Allah SWT. Gelarnya juga sedikit aneh bin nyeleneh, yakni Prabu Welgeduwelbeh. Dalam versi lain, gelar Petruk adalah Prabu Kantong Bolong yang bertahta di kerajaan Lojitengara.

Bak peribahasa kere munggah bale, Petruk yang sudah berubah wujud gagah dan tampan susah mengendalikan jalannya roda pemerintahan. Namun berkat kesaktian dan kesufiannya, nama besar Petruk menggegerkan langit ketujuh alias kahyangan Junggring Saloka. Para dewa yang bertahta seolah tak terima melihat tindak tanduk anak asuh Semar Bodronoyo ini.

Keberadaan Petruk dinilai sebuah ”suara sumbang” yang harus dieliminir. Kalau dibiarkan terus, bisa-bisa paham kerajaan akan berubah menjadi paham demokrasi. Namun sayang perkiraan para dewa ini mbeleset. Semua yang ada di dekat Petruk dihajar habis-habisan.

Tidak peduli Kresna atau Baladewa, semua dibuat kelabakan. Bahkan konon Batara Guru sang penguasa kahyangan juga lari terbirit-birit. Sebentar kemudian, Petruk menyatu dengan para dewa. Dia menjadi penguasa di negeri para dewa, Junggring Saloka. Setelah para dewa angkat tangan dan kaki, ”pemberontakan” kawula alit terhadap tatanan mapan ini akhirnya badar.

Semar Bodronoyo yang turun tangan berhasil menyadarkan Petruk. Semar mengingatkan Petruk bahwa mengabdi kepada bangsa dan negara tidak selalu harus jadi ratu. ”Le thole, apakah kamu terhina jadi kawula alit. Apakah kamu merasa lebih mulia jadi raja?” begitu kata Kiai Semar. Prabu Kantong Bolong yang terkejut bukan main lantas menciut. Tubuhnya berubah wujud dari yang gagah dan tampan kembali seperti semula.

Petruk akhirnya mudik jadi wong cilik. Meski tak merayakan Lebaran, hatinya yang penuh angkara murka kembali Fitri atau suci. Petruk menjadi karakter pilih tanding dan tahan banting. Karakternya sebagai kawula alit seolah lahir kembali setelah jadi ratu meski sebentar.

Tindak-tanduknya kini mirip orang-orang yang merayakan Idul Fitri. Orang-orang yang mendapat karunia setelah digodok selama 30 hari puasa Ramadan, zikir, baca Alquran hingga salat malam. Dia memahkotai akhlaknya yang mulia sebagai wong cilik dengan saling meminta dan memberi maaf.
Ketika Petruk kembali Fitri, negeri para dewa Junggring Saloka jadi adem ayem. Darah Petruk yang dulunya bergelora bak gelombang tsunami menerpa Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), kini seperti pantai dengan angin yang semilir. Panas hati itu teredam usai Idul Fitri.

Hati Petruk kini sudah di perantauan. Bedanya, Petruk tidak lagi tergoda rumah mewah seharga Rp2 miliar, cinta mobil sport ala Ferari, tanah seluas lapangan bola, maupun kekuasaan ala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lakunya mirip sufi agung di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh sekitar pamer pahala dan aurat. Meski demikian, Petruk tak ingin menyepi ke gunung atau ke pantai. Dia adalah ksatria yang biasa menghadapi godaan wanita secantik Luna Maya maupun tubuh seseksi Cut Tari.

Baginya, hari ini adalah hari beramal bukan hari tanggung jawab. Sedangkan besok hari adalah hari tanggung jawab bukan hari untuk amal. ”Jadilah wartawan yang sufi, jadilah dalang yang sufi, jadilah Petruk yang sufi atau jadilah ratu/Presiden yang sufi.” Begitu pesan Kiai Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) kepada Petruk yang kini tampil dalam lakon Petruk Dadi Presiden.

Sep 6, 2010

Java Day, Program Ora Njawani

Sebagai orang yang lahir kemudian dibesarkan di tanah Jawa, program Java Day membuat saya terkaget-kaget. Sudah punahkah bahasa Jawa sehingga harus ada Java Day? Bahasa Jawa tidak akan punah. Apalagi jika penduduk Pulau Jawa yang merasa memiliki bahasa Jawa masih hidup dan beranak-pinak di Pulau Jawa.

Bahkan yang berada di luar Indonesia pun masih menggunakan bahasa Jawa. Budaya mereka juga masih menggunakan budaya Jawa yang dikenal sopan dan santun. Sebut saja Suriname. Negara yang dulunya bernama Guyana Belanda tampaknya sangat njawani dibanding yang tinggal di pulau Jawa.

Mereka memiliki bahasa Jawa dialek Suriname. Ini bisa dimaklumi karena nenek moyang Suriname berasal dari Jawa. Hebatnya penutur bahasa Jawa di Suriname ini, menurut wikipedia, mencapai 65.000 jiwa di Suriname dan 30.000 jiwa di Belanda. Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa masyarakat Jawa tetap memegang erat budayanya di manapun mereka berada.

Tetapi kalau budaya dan bahasa Jawa luntur barangkali iya. Indikasi awalnya bisa dilihat dari munculnya program Java Day. Dari namanya saja sudah mengandung bahasa Inggris. Java adalah sebutan yang disematkan orang-orang Eropa terhadap tanah Jawa.

Mungkin bibir mereka tidak seluwes orang Indonesia yang bisa melafalkan Jawa. Sedangkan Day, semua maklum kalau Day adalah bahasa Inggris yang artinya hari. Sejak tahun 2000, saya kira anak-anak TK saja sudah mengerti apa artinya Java Day. Arti gampangnya adalah sehari berbahasa Jawa atau sehari berbudaya Jawa.

Program ini adalah wujud kemampuan pemimpin Dinas Pendidikan Kota Surabaya meneropong masa depan. Mungkin Kepala Dinas Pendidikan Sahudi khawatir jika budaya Jawa ini ditelan budaya Inggris, Eropa, maupun gaya hidup hedonis yang tumbuh di kota-kota besar. Baru satu tahun dijalankan, niat suci ini ternoda dan terhalang banyak rintangan.

Dikatakan ternoda karena dari namanya saja sudah tidak njawani. Bagi wali murid yang tak mengerti bahasa Inggris, pasti hanya menerka-nerka arti Java Day. Niatnya memang baik agar siswa dan guru lebih berbudaya Jawa. Namun nama program harus di kritisi karena tak membawa pesan yang terkandung di dalam program itu.

Rintangan lain bisa disimak dari pengakuan para guru yang menjalankan program Java Day. Mereka rata-rata mengaku kesulitan menggunakan bahasa Jawa. Kepala SMPN 1 Surabaya Muchtar menuturkan, penerapan hari berbahasa Jawa di sekolah cukup sulit.

Proses belajar mengajar sendiri terhambat ketika guru di kelas menggunakan bahasa Jawa dalam memberikan pelajaran kepada siswa. Pihak sekolah akhirnya memilih kembali menggunakan bahasa Indonesia. Dia tidak mau mengambil risiko kalau siswa tidak bisa menangkap pelajaran ketika penyampaiannya menggunakan bahasa Jawa, seperti dikutip Harian Seputar Indonesia (2/5).

Hal yang sama terjadi di SMA Khadijah Surabaya. Kepala SMA Khadijah Suwito mengatakan, anjuran Dindik Surabaya tentang pelaksanaan Java Day tidak diterapkan sama sekali di SMA Khadijah. Sejak awal pihaknya sudah bersikukuh kalau program Java Day sulit diterapkan di sekolah. Alasannya tidak semua siswa mau menggunakan bahasa Jawa.

Ini berarti lingkungan sangat tidak mendukung bagi terlaksananya program Dindik itu. Orang tua, guru, dan kita semua, sepatutnya introspeksi menyikapi permasalahan ini. Sosok guru bagi orang Jawa identik dengan tokoh yang bisa digugu lan ditiru. Kalau gurunya saja mengeluh apalagi muridnya. Termasuk urusan bahasa Jawa, guru adalah sosok yang bisa ditiru. Keseharian guru ketika berbicara dengan sesama guru akan ditiru muridnya.

Jika guru berbahasa Jawa Krama Inggil, maka muridnya juga berusaha akan menirukannya berbahasa Krama Inggil. Demikian sebaliknya. Jika guru berbicara dengan bahasa Inggris, maka murid-muridnya akan lebih pandai berbahasa Inggris daripada Jawa. Keputusan Kepala Dindik Surabaya Sahudi untuk mempertahankan program Java Day selama tahun ajaran 2009/2010 patut diacungi jempol.

Menurut dia, Java Day tidak sekadar berbahasa Jawa, tapi lebih pada tuntunan etika yang baik bagi pelajar di Surabaya. Melihat kendala di atas, tampaknya harus ada perubahan pola pendekatan dalam menghidupkan kembali budaya dan bahasa Jawa di kalangan siswa.

Ada banyak cara untuk mengingatkan budi pekerti maupun bahasa Jawa. Kalau ada lomba pidato bahasa Inggris, Jepang, Jerman, maupun Prancis, kenapa tidak ada lomba pidato bahasa Jawa tingkat SMP maupun SMA. Program pemahaman juga bisa dilakukan dengan lomba membaca puisi bahasa Jawa.

Undang para penyair Jawa untuk menjadi pembicara di kelas-kelas. Atau sekadar membaca puisi bahasa Jawa dalam setiap momen peringatan. ”Saya mendengar dan saya lupa. Saya melihat dan saya ingat. Saya lakukan dan saya paham.” Begitu filsuf China Confusius menyindir kita semua.

Sep 3, 2010

Remembrance of Allah



Wahai alangkah kecil arti dunia; Wahai alangkah kerdil arti dunia, Wahai alangkah remeh makna dunia; Wahai alangkah wahai tak berartinya dunia; Yang mengejar akhirat mendapat akhirat dan dunia;Yang mengejar dunia cuma mendapat dunia

Sebait puisi Taufiq Ismail itu begitu membahana di dalam kabin. Suara khasnya meninju-ninju kalbu. Sound system Ford Fiesta hatchback 1,4 Style AT yang kami kendarai begitu jernih memutar CD album Remembrance of Allah yang kami bawa jauh-jauh dari Jakarta. Suasana kabin yang begitu senyap seolah menghadirkan Taufiq Ismail duduk di jok belakang.

Suara serak-serak basah itu menjadi teman seperjalanan Seputar Indonesia (SINDO) dalam Ford Fiesta International Media Drive di Phuket, Thailand, Senin (23/8). Kebetulan SINDO mendapat kesempatan menjajal varian Ford Fiesta itu bersama jurnalis senior Yusran Hakim. Transmisi Ford Fiesta ini otomatis 4 tingkat percepatan. Perjalanan selepas waktunya makan siang itu mengambil start di Renaissance Phuket Resort & Spa, Mai Khao, Talang, Phuket, Thailand.

Suara Taufiq mengalun jernih pada etape pertama, Rennaissance-Thung Kha View Point berjarak 70 km. Barangkali itulah kelebihan sound system Ford Fiesta berkekuatan 4 speaker dan disuplai MP3, USB, dan CD Player.

Pada varian tercanggihnya, Ford menanam teknologi mobil mewah yakni voice command atau aktivasi suara. Dengan teknologi yang panelnya pada varian tercanggih menyatu dengan tuas sein, pengemudi dan penumpang bisa berinteraktif dengan kendaraan. Suara penumpang maupun pengemudi bisa mengaktifkan telepon seluler melalui bluetooth. Kemudian dari layar LCD di tengah dashboard suara perempuan berbahasa Inggris menyapa. Anda akan ditanya mau mengaktifkan radio, CD player, air conditioning atau phone. Ketika menyebut phone, fasilitas ini akan menjawab silakan masukkan nomornya.

Jika lafal bahasa Inggrisnya kurang bagus, maka yang muncul angka lain. Untuk menghapusnya cukup menyebutkan "correction" hanya angka yang salah dihapus. Jika nomor telepon sudah lengkap tinggal sebut "dialing". Sayang penggunaan voice command seperti yang dijelaskan Andrew Ball, Chief Program Engineer Ford Asia Pasifik dan Afrika (APA) ini tak terpasang pada kendaraan kami. Meski kecewa, kami bersyukur bisa menjajal kelebihan Ford Fiesta.

Kami terus melaju. Pedal gas mulai diinjak agak dalam pada jalur lurus. Cuaca yang kurang bersahabat rupanya menjadi batu ujian iring-iringan 10 unit Ford Fiesta. Hujan deras memayungi perjalanan pada etape pertama. Alhasil sepanjang jalur terdapat genangan air, basah, kering, hingga jalanan bergelombang.

Jalur basah ini membuat laju kendaraan masih berkisar 80-100 km. Duduk di bangku kemudi terasa nyaman meski di luar hujan turun sangat deras. Pandangan ke depan sangat lega memudahkan mengontrol laju kendaraan. Banyaknya genangan air yang berada di sisi kanan jalan tidak begitu berpengaruh pada kemudi saat diterjang.

Memang kemudi sedikit tertahan ke kanan ketika roda ban melibas genangan air setinggi mata kaki. Namun secara keseluruhan, kemudi Ford Fiesta jenis Rack and Pinion dengan Eletric Power-Assisted System melahapnya tanpa kehilangan kendali. Hujan deras juga memaksa kami menyalakan lampu kabut depan dan belakang.

Tombol lampu kabut ini berada pada dashboard di bawah kemudi bagian kanan. Tinggal diputar ke kanan maka lampu kabut menyala. Pengaturan spion bisa dilakukan dari pengendali di samping pintu. Namun jika tak jeli memencet, bisa-bisa spion akan menekuk ke bawah maupun ke atas, ke dalam atau malah terlalu ke luar.

Tuas untuk mengatur lampu sein juga berbeda dengan mobil-mobil negeri Sakura di Indonesia. Tuas sein ini berada di bawah lingkar kemudi sebelah kiri. Sedangkan tuas pembersih kaca berada di sebelah kanan. Bagi pengemudi yang kurang terbiasa bisa selalu salah memindah tuas. Kalau menggerakkan tuas kiri maka yang menyala adalah lampu sein. Sedangkan yang sebelah kanan adalah penggerak alat pembersih kaca.”Karena berbasis Eropa, Ford menggunakan tuas sein di kiri menyesuaikan lajur jalan,” tutur Yusran.

Suara Taufiq Ismail dari CD Player telah berganti dengan Aris Idol ketika rombongan mendekati Thung Kha View Point. Lagu Tuhan ciptaan Sam Bimbo itu menemani kami menelusuri jalanan berliku. Ford Fiesta melibasnya seperti air mengalir di kelokan sungai. Cuma ketika belok, bodi bagian belakang yang bertumpu pada twist beam sedikit terlempar ke luar. Kondisi ini biasanya dirasakan pengemudi. Sedangkan penumpang di samping pengemudi tidak terlalu merasakannya.
Seolah Hidup Meski Diam
Thung Kha View Point memang layak sebagai tempat istirahat. Tempat ini mirip Puncak di Bogor, Jawa Barat, atau Payung di Kota Batu Jawa Timur. Bedanya bila di Puncak bernuansa kebun teh, di Thung Kha View Point pandangan yang terhampar adalah kebun kelapa sawit. Mobil 10 unit diparkir berjajar. Benar apa yang dikatakan Cristopher Svensson, Director of Design, Ford APA, sebelum berangkat menuju Thung Kha. Ford Fiesta didesain seperti hidup dalam posisi diam. Meski sedang diparkir, tarikan garis yang nyata di sisi samping dan juga bagian depan bodi, menyiratkan Fiesta seperti jalan. Inilah yang terlihat selama kami berhenti sejenak di Thung Kha View Point.

Di sini kami bertukar tempat. SINDO menikmati duduk di bangku penumpang sedangkan Yusran menjadi pengemudi pada etape Thung Kha-Haadson Resort berjarak 65 km. Rasanya nyaman sekali sebagai penumpang. Mata rileks karena tidak berkonsentrasi mengemudi. Kaki juga bisa selonjor dengan lepas. Sesekali SINDO juga mencoba membuka kotak di bawah jok penumpang depan.

Belum beberapa menit duduk santai, Yusran menggunakan mode transmisi D yang di-setting manual. Pada saat gigi rendah, pada layar di bawah kemudi akan menunjuk angka 1 hingga 4. Angka ini menunjukkan gigi rendah maupun gigi putaran tinggi. Alhasil tarikannya lebih responsif. Tercatat tiga kali, kami berhasil menikung tajam dengan kecepatan sekitar 100 km/jam. Hati sedikit berdebar kencang, namun suara Tombo Ati yang dinyanyikan Ihsan Idol, benar-benar menenteramkan hati sepanjang perjalanan menuju Haadson Resort.

Ford Fiesta Sedan 1,6 Sport Powershift
Setiba di Haadson Resort sekitar pukul 15.00 waktu setempat, rombongan beristirahat menikmati kopi selama 30 menit. Rombongan kemudian dipecah lagi hingga akhirnya SINDO mendapat kesempatan duduk sebagai penumpang Fiesta Sedan 1,6 Sport Powershift, varian tertinggi di kelasnya. Model ini akan dipasarkan PT Ford Motor Indonesia (FMI) mulai April 2011.

Duduk di belakang kemudi seorang jurnalis wanita Emma Aliudin dari majalah gaya hidup ibu kota. Sambil mengemudi Emma mengaku lebih sreg pada Ford Fiesta hatchback "Tapi saya harus mencoba Mazda2 Sedan atau Toyota Yaris untuk bisa membandingkan dengan Fiesta Sedan ini. Selama ini saya biasanya memegang Toyota Vios," ujar Emma. Menurut dia, daya cengkeram Ford Fiesta Sedan lebih enak dibandingkan mobil dinas (mobdin) miliknya.”Rasanya lebih ringan dan daya cengkeramnya terasa,” tutur Emma. Keasyikan berbincang membuat mobil kami terpisah dari rombongan utama yang menuju Lampee Waterfall. Sempat khawatir tersesat karena berada di negeri orang, kami tertolong panduan jalur dari satelit yang terpasang di atas dashboard. Tidak berbeda jauh dengan Fiesta hatchback, tarikan sedan ini sangat terasa.
Desain interior hatchback dan sedan juga tidak berbeda. Ruang di antara jok pengemudi dan penumpang dirancang modern yang bisa meletakkan beberapa botol minuman, uang logam dan seluler. Jika model hatchback memiliki panjang 3,950 mm, maka yang model sedan memiliki panjang 4,291 mm. Kepanikan karena tertinggal dari rombongan sedikit terobati.
Emma mampu menggeber mobil hingga kecepatan 120 km/jam. Untung juga jalanan di Phuket lebar dan mulus, dan sepeda motor hanya diberi ruang sekitar 1 meter di pinggir jalan. Jadi perjalanan menyusul rombongan akhirnya sukses hanya beberapa ratus meter dari Lampee Waterfall. Pada etape penutup, Lampee Waterfall, SINDO duet kembali dengan Yusran Hakim. Kali ini mobil Ford Fiesta hatchback mampu digeber pada kecepatan 165 km/jam. Kecepatan ini diyakini masih bisa bertambah. Pedal gas masih bisa ditancap lebih dalam. Cuaca mendung menjadi teman perjalanan etape Lampee Waterfall- Renaissance Phuket Resort & Spa, berjarak 46 km. Suara syahdu Rindu Rasul (Taufiq Ismail/Sam Bimbo) menjadi penutup perjalanan setengah hari yang cukup melelahkan itu.(edi purwanto)

Aug 31, 2010

Mohon Maaf Pak Beye

17 Agustus 2010 baru saja berlalu tiga hari lalu. Selama tiga hari itu, aku selalu resah memandang Indonesia ini ke depan. Aku resah tentang masa depan anak-anak. Aku resah mau dibawa ke mana negeri ini. Aku resah karena kami tidak diajak memandang dalam spektrum lebih luas.

Ke mana negeri ini dibawa pun aku bingung. Doktrin yang selalu ditanamkan kepada kami, mari kita bangun negeri ini agar menjadi negeri yang makmur. Makmur seperti apa? Pergi ke mana-mana aman, pendidikan murah, bensin murah, sandang pangan papan murah, rakyat kecil iso gumuyu, bahkan bisa beli mobil layaknya pejabat.

Fakta melukiskan sebaliknya. Mantan menteri keuangan Sri Mulyani saja sampai mengeluh biaya pendidikan apalagi kaum miskin. Harga sembako juga menjadi permainan tengkulak. Perampok merajalela, korupsi ikut menggerogoti kekayaan negara. Pemerintah seolah-olah hanya mengikuti alur birokrasi yang alurnya mbulet tidak karuhan.

Pertanyaannya sampai kapan Indonesia makmur? Negeri ini sudah berumur 65 tahun sejak eyang Bung Karno membacakan proklamasi. Setiap periode kepemimpinan meninggalkan bekas yang dalam bagi penerus negeri ini. Sebagai orang muda yang dibesarkan pada orde baru tentu sangat paham dengan rencana pembangunan lima tahun (repelita).

Program jangka panjang menjadi target bersama rakyat Indonesia. Seperti swasembada beras. Begitu pemerintah mencanangkan swasembada pangan ini, seluruh kekuatan rakyat dikerahkan untuk swasembada pangan. Ujung-ujungnya target pangan ini tercapai. Pak Harto pada tahun sebelum krisis 1997 sampai berani menyebut Indonesia akan jadi macan asia.

Terus terang, harapan kami yang pada saat itu masih duduk di bangku SMA melambung, "Sebentar lagi Indonesia akan sejajar dengan Jepang, China." Begitu hati kami bergumam. Tapi apa daya krisis mengguncang Indonesia. Semua berantakan. Fondasi ekonomi kalang kabut. Pada akhirnya Indonesia harus tumbang. Pak Harto lengser bersama senyumnya yang khas.

Mewujudkan demokrasi ternyata lebih mudah dibandingkan mewujudkan kesejahteraan. Partai menjamur pascareformasi. Pemilihan presiden secara langsung sesuai azas demokrasi sukses mengantarkan SBY-JK. Namun laju demokrasi ini tidak diimbangi SBY-JK sampai SBY-Boediono meningkatkan kesejahteraan. Barangkali terlalu subjektif, tapi inilah yang aku rasakan. Orang-orang partai langsung kaya mendadak. Aktivis mahasiswa yang tiba-tiba terjun ke politik mendadak berubah menjadi orang kaya baru.

Program-program menonjol yang melibatkan rakyat dalam skala nasional hanya program BLT, penggantian minyak tanah dengan elpiji. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin terpuruk. Yang anak pejabat akan jadi pejabat, dan yang anak kaum sudra akan tetap menjadi keset. Akses pendidikan justru tertutup dengan banyaknya sekolah internasional. Pendidikan murah hanya berhias program beasiswa. Anak-anak kaum miskin semakin terpuruk. Biar tak berdaya kami tetap optimistis.

Kami sebenarnya masih punya mimpi tentang Indonesia. Sebuah mimpi tentang bangsa yang memiliki sejarah panjang sebagai bangsa yang besar. Sebuah mimpi tentang pemimpin setegas Gajah Mada. Pemimpin yang mampu mengarahkan ke mana negeri ini dibawa ke mana. Bukan pemimpin yang letoy, lebay, dan gila popularitas. Ajaklah kami bekerja keras. Beri kami contoh dengan turun ke lapangan bukan hanya duduk di kursi. Tunjukkan kepada kami jalan menuju kemakmuran. Tunjukkan kepada kami bahwa Bangsa Indonesia mampu makmur sejajar dengan bangsa lain. Kami sudah capek dengan retorika. Pak Beye jangan marah ya, sampean kan kepala pelayan kami. (Selamat HUT ke-65 Kemerdekaan Indonesia)

Jul 26, 2010

Cara Maut Memilih Ketua Geng

Lapen, memang memabukkan. Saking kerasnya, kandungan alkoholnya bisa mengantarkan hingga ke akhirat. Percaya atau tidak? Dalam sepekan terakhir, setidaknya 14 pemuda mati sia-sia menenggak lapen. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BB POM) Yogyakarta menduga korban tewas karena unsur methanol di dalam alkohol lapem.

Dugaan sementara ini merujuk sejumlah literatur di mana Lapen dibuat dengan cara mencampur alkohol berkadar di atas 70% dengan air, bahan perasa, dan pewarna makanan.Data terakhir Poltabes Yogyakarta, jumlah korban tewas akibat menenggak Lapen di Kota Yogyakarta sudah mencapai 14 orang.

Sejatinya, pesta miras hingga tewas tidak hanya terjadi di Yogyakarta. Pada awal 2007, Kota Kediri dan Tulungagung digegerkan matinya belasan pemuda. Usut punya usut, mereka ternyata mati overdosis. Saking banyaknya korban, Pemkot Kediri sampai menyatakan kejadian luar biasa (KLB). Bedanya, kalau di Yogyakarta menenggak Lapen, maka di Kediri dan Tulungagung, menenggak minuman keras oplosan.

Data Dinas Kesehatan Kota Kediri menyebutkan, korban tewas overdosis mencapai 34 orang, 11 di antaranya tewas selama Maret 2007. Hasil tes urine yang dilakukan petugas medis, sebagian urine diketahui mengandung benzodiazepines. Zat beracun itu menyebabkan kerusakan otak.
Data di RSU dr Iskak Tulunggung dalam kurun waktu yang relatif bebarengan dengan di Kediri, delapan pemuda tewas sia-sia karena minuman keras dan psikotropika. Mereka di antaranya, Mohammad Muchtar,19; Ahmad Rofiq, 18; Ibnu Nita Chandra, 18, (ketiganya warga Desa Bendiljatiwetan, Kecamatan Sumbergempol), Khoirul Muklis,22, warga Desa Jabalsari, Kecamatan Sumbergempol; Taufik Armiko,20, warga Desa Tapan, Kecamatan Kedungwaru; Fendik,21, warga Kelurahan Bago, Kecamatan Tulungagung; Dwi Prasetya,22, warga Desa Pacitan, Kecamatan Ngunut; dan Nanang, 20, warga Desa Pojok, Kecamatan Ngantru.

Sedemikian parahkah pemuda kita? Kebiasaan mengonsumsi obat-obat psikotropika jenis lexotan, nampaknya memang menjadi gaya hidup bagi sebagian remaja Kediri dan sekitarnya. Bahkan untuk menyandang gelar sebagai ketua geng, mereka mengadakan uji nyali dengan mengonsumsi pil koplo.

Joni (nama samaran), 28, warga, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, menjelaskan, kebiasaan mengonsumsi lexotan, ibaratnya sudah seperti memakan nasi bagi pemuda di kampungnya."Jika tidak ketemu lele (sebutan untuk obat double L), rasanya seperti belum makan nasi satu hari," ujarnya sambil cengar-cengir.
Bapak satu anak mantan ketua geng di kampungnya itu mengungkapkan, tidak terlalu sulit mendapatkan pil koplo di wilayah eks Karesidenan Kediri. Cukup dengan berbekal rekomendasi sesama pengguna pil koplo, calon pemakai akan diperkenalkan kepada seorang pengedar yang selalu siap memenuhi berapa pun obat yang dibutuhkan. ”Harganya murah, berkisar antara Rp2.500 - Rp5.000 per butir,” tukasnya.
Harga yang sangat murah itu, tidak terlalu berat bagi pemuda yang bekerja sebagai buruh serabutan dan pengamen jalanan. Apalagi peredaran pil koplo sudah dari kampung ke kampung. Sehingga, ibarat baru saja keluar rumah, pil koplo sudah di depan mata. Dari penelusuran kasus per kasus, sebagian besar para korban tewas overdosis adalah pengamen dan buruh pada home industri yang tersebar di Kediri dan Tulungagung.
Penghasilan mereka berkisar Rp15.000 – Rp25.000 per hari. Maka harga pil yang berkisar Rp2.500-Rp5.000, merupakan harga yang sangat murah untuk sekadar menikmati fly. Terkadang, untuk menunjukkan eksistensinya, satu kelompok pemuda tak keberatan untuk patungan membeli pil haram tersebut."Kalau pil sudah terkumpul, kami pesta kecil-kecilan di rumah salah satu teman," jelas Joni, yang sudah 2 tahun tidak menikmati lexotan .
Pesta narkoba rata-rata digelar untuk memperkuat persahabatan antar anggota kelompok. Dalam pada itu, tercipta sikap keterbukaan antar sesama anggota geng. Ini yang kemudian mendorong pesta adu nyali.
Ritual adu nyali dilakukan untuk mencari siapa yang terkuat. Siapa pun yang sanggup menelan puluhan butir lexotan, dia yang akan dinobatkan sebagai ketua geng atau minimal dianggap jagoan. "Siapa yang terakhir berdiri dan tidak kolaps, dia yang akan dinyatakan sebagai ketua geng. Ini sudah menyangkut harga diri bagi kami sebagai laki-laki," ujarnya berapi-api.
Ritual ”gila” itu belum cukup. Bahkan, para pemuda itu melakukan eksperimen dengan meracik pil koplo dengan minuman beralkohol. Parahnya lagi, untuk menimbulkan sensasi yang luar biasa, minuman keras dan pil lexotan dioplos dengan obat nyamuk merek autan dan baygon.
Tak tanggung-tanggung, ada yang dicampur dengan bahan bakar bensin dan spiritus.

"Hanya saja, kadar bahan bakar tidak perlu banyak sehingga tidak terlalu kolaps," kata Joni ringan. Joni mengaku, koma selama 1 bulan di rumah sakit setelah minum minuman oplosan itu. Saat ini Joni sudah menyatakan berhenti mengonsumsi narkoba setelah menjalani masa penyembuhan selama dua tahun. ”Saya sudah tobat, dan tidak ingin mengulangi masa lalu lagi,” pungkasnya.

Korban tewas sudah berjatuhan. Masihkah pemuda kita menutup mata? Nyatanya, pesta miras masih ada di mana-mana. Mulai dari diskotek hingga gardu pos keamanan di pojok kampung. Kini pesta miras tak sekadar minum, tapi sudah menyangkut nyali hingga nyawa. Anda berani?

Suramadu, Kebanggaan Semu?

.Ini bukan prediksi final Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, antara Belanda versus Spanyol yang digelar Senin dini hari (12/7). Tapi ini masalah kebanggaan sebagai sebuah bangsa. Pertemuan dua finalis bangsa penjajah nusantara pada Piala Dunia 2010 ini memberi pelajaran yang sangat berarti. Konflik antarsuku, agama, perbedaan politik hingga dendam antarpribadi, akan menguntungkan bangsa lain.

Kekacauan akibat adu domba pernah dimanfaatkan para penjajah untuk menyelinap ke Indonesia. Bangsa Eropa pertama, menurut buku-buku sejarah yang menjejakkan kakinya di wilayah Indonesia adalah bangsa Spanyol dan Portugis.

Politik adu domba membuat dua wilayah di bawah Kesultanan Ternate dan Tidore, dengan mudah dikuasai bangsa Eropa. Demikian pula masuknya Belanda yang diwakili Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602.
Gampangnya kompeni masuk juga dipengaruhi perpecahan raja-raja Jawa dari Kerajaan Mataram hingga Kesultanan Demak. Kalau diteruskan, catatan ini akan menjadi tulisan ngelantur tentang sejarah. Pada intinya, bangsa ini sangat mudah diadu sesama bangsanya bukan karena kemiskinan, tetapi barangkali karena negeri ini terlalu kaya. Jumlah suku dan bahasa daerahnya mencapai ratusan, potensi tambang mulai batu bara hingga intan permata berjuta ton, dan alamnya gemah ripah loh jinawi.

Meski kaya, negeri ini masih ketinggalan di banding negara di semenanjung Korea. Ketika Korea Selatan (Korsel) yang hari kemerdekaannya selisih dua hari dengan Indonesia, sudah melaju ke babak gugur Piala Dunia 2010, negeri ini masih gontok-gontokan. Entah di bidang perekonomian maupun olahraga, Indonesia masih kalah dibanding Korsel.

Dari segi perekonomian, Korsel sudah melaju cepat meninggalkan Indonesia. Menurut saudara-saudara tenaga kerja Indonesia yang ada di Korsel, mencari pekerjaan di Korsel ibarat membalikkan telapak tangan. Gampangnya mencari pekerjaan ini menjadi satu indikator kalau pertumbuhan ekonomi Korsel cukup baik. ”Paling banter menganggurnya dua hari. Setelah itu dapat kerja lagi,” kata seorang TKI yang sudah 5 tahun berada di negeri ginseng itu.

Pertumbuhan Korsel juga tidak lepas dari gaya hidup warga Korsel yang sangat cinta produk dalam negeri. Mereka bangga dengan bangsanya. Karena alasan itu, mereka juga enggan menggunakan barang-barang produk Jepang, yang dulu sempat menjajahnya. Mereka ingin menepuk dada bisa melebihi kemampuan penjajah dalam segala hal, mulai teknologi, olahraga, hingga perekonomian.

Kemampuan itu juga ditunjukkan daya saing mobil merek Korsel seperti Hyundai, Daewoo terhadap kuda besi asal Jepang. Sedangkan Indonesia belum pernah sukses menggarap mobil nasional. Kondisi serupa juga terjadi di peralatan elektronika. Warga Korsel selalu bangga dengan produk negerinya. Mereka bangga dengan merek Samsung, mulai tv hingga telepon seluler (ponsel).

Bandingkan dengan masyarakat Indonesia yang selalu bangga dengan produk luar negeri. Mereka bahkan dengan bangganya menggunakan produk bangsa yang dulu pernah menjajah Indonesia. Ribuan sepeda motor merek Yamaha, Honda, Suzuki, Kawasaki berkeliaran di jalan-jalan. Bila masuk ke dalam rumah, jarang kita menemukan tv merek Polytron. Padahal tv ini merupakan produk asli Indonesia. Sampai masalah Piala Dunia 2010, masyarakat Indonesia sebagian terbelah antara menjagokan Belanda atau Spanyol.

Untuk urusan sepak bola, Indonesia juga tidak ada apa-apanya dengan Korsel. Park ji Sung dkk sukses menembus Piala Dunia 2010 dengan penampilan menawan meski berhadapan raksasa Argentina. Sedangkan prestasi Bambang Pamungkas dkk hanya level Asia Tenggara. Kebanggaan sebagai bangsa juga dirasakan rakyat Spanyol pasca kemenangan 1-0 atas timnas sepak bola Jerman. Sukses tersebut menggumpalkan semangat dan motivasi rakyat Spanyol keluar dari krisis global

“Semangat rakyat Spanyol tumbuh kembali. Kami semua sangat bangga dengan hasil yang dicapai timnas. Ini adalah pelepas derita krisis ekonomi mengerikan yang diciptakan pemerintah. Hasil ini mengangkat semangat kami untuk melewati krisis ini,” ujar Loria Alejandrez, seorang wanita pegawai negeri sipil di Madrid, seperti dikutip Reuters, Seputar Indonesia, Jumat (9/7).

Itulah kebanggaan. Produk dalam negeri yang berkualitas, kemenangan tim sepak bola, atau prestasi anak bangsa lainnya, ternyata bisa mengungkit rasa bangga sebagai bangsa. Termasuk ketika Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) diresmikan setahun lalu. Tidak hanya rakyat Jawa Timur saja yang bangga. Tapi bangsa ini juga bangga karena memiliki jembatan terpanjang di Indonesia. Namun kiprah jembatan Suramadu masih jauh dari konsepnya sebagai kawasan ekonomi. Jembatan Suramadu sebenarnya digadang-gadang mampu mendorong investasi di kawasan Madura dan sekitarnya.

Namun setelah setahun berlalu, Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) belum bisa menjadi seorang Carlos Puyol. Gebrakan BPWS belum mirip tandukan bek tengah Barcelona itu ke gawang Jerman, yang mampu mengungkit semangat rakyat Spanyol keluar dari keterpurukan ekonomi. Lembaga bentukan pemerintah ini masih berkutat di lini belakang dengan tata ruang dan wilayah (RTRW) Suramadu, hingga terbelit masalah kekurangan dana. Tak pelak para investor yang sudah antre enggan melesakkan gol di Suramadu. Semoga Jembatan Suramadu bukan kebanggaan semu belaka. Make us proud, Indonesia!.(*)
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog