Widgetized Footer

Mar 8, 2007

M Roziq,46, Pembudidaya Ikan Koi

18 Tahun Tanpa Sentuhan Dinas Perikanan

Kesabaran dan Ketekunan, menjadi kunci keberhasilan bagi M Roziq,46, warga Dusun Kuwut, Desa Kemloko, Kec. Nglegok, Kab. Blitar. Sudah 18 tahun ia menggeluti, dan menjadi salah satu perintis ikan yang termasuk dalam famili ikan Emas itu.

Memasuki rumah M Roziq, seperti nuansa pedesaan lainnya, sangatlah asri. Kolam dengan paduan tumbuhan keras, berada di depan rumah asri itu. Sementara di belakang rumah, juga terdapat puluhan kolam. Semuanya masih alami hingga kini. Tak ada bau amis layaknya kolam-kolam ikan. Yang ada hanyalah pemandangan indah ikan koi berenang di dalam sebuah kolam. Rata-rata ikan koi milik Roziq dari jenis Gosanke, termasuk diantaranya; Kohaku, Sanke, dan Showa. ”Saya memulai menekuni sebagai pembudidaya ikan koi profesional sejak 1988,” tutur Roziq ditemui di kolam pembenihan ikan koi jenis Sanke. Menurut dia, pada saat itu, belum ada ikan koi lokal. Yang ada hanya jenis ikan koi import dari Jepang. Kendala bibit itu, tak membuat putus asa. Hingga suatu ketika ia mendapat benih ikan koi dari sebuah showroom di Surabaya . ”Waktu itu, tidak ada namanya ikan koi lokal, kita harus mencoba mengawinkan atau beli induk import,” ungkapnya. Sebelum terjun membudidayakan ikan koi secara profesional pada usia 28 tahun, Rozid dan adiknya, Imam Muhson, sudah menekuni ikan hias. Mereka sudah mengembangkan ikan moli, ikan mas, maupun jenis ikan hias lainnya di kolam tradisional. Bisnis ikan hias itu kemudian beralih kepada budidaya ikan koi.
Awalnya, dari pertemuan para pembudidaya ikan koi, Roziq mendapat tawaran mengembangkan benih ikan dari Jepang itu. “Semula agak ragu. Namun karena keterdesakan ekonomi, akhirnya saya dan adik, nekat mengembangbiakkan ikan koi,” katanya didampingi Imam Muhson, adik kandung Roziq.
Keraguan itu masih berlanjut hingga setahun kemudian. Betapa tidak, meski telah berhasil menelurkan benih ikan koi ratusan ekor, tetapi sulit dipasarkan. Apalagi dekade 1980an, belum ada showroom-showroom ikan seperti saat ini. ”Pada saat itu, hanya ada dua di Surabaya dan Jakarta ,” ungkapnya
Setelah berjalan sekitar 2 tahun, kakak beradik itu, mengembangkan ikan koi jenis Gosanke, seperti Kohaku, Sanke, dan Showa. Kohaku merupakan ikan koi yang mempunyai warna dasar merah di atas warna putih. Sedangkan Sanke, mempunyai perpaduan warna merah dan hitam di atas warna putih. Pattern hitam tidak terdapat di kepala. Lain halnya, dengan Showa. Jenis ikan koi hitam ini warna dasarnya pattern warna merah dan putih.
Memulai dari tiga jenis ikan koi itu, keberhasilan mulai membayangi kedua kakak beradik itu. Roziq pada tahun 1990an mulai bisa mengembangkan diri. Beberapa kali, ia mengikuti kontes ikan koi di Jakarta , Semarang , mapun Surabaya . Kala itu, ia belum bisa menjadi juara dalam setiap kontes. Meletusnya Gunung Kelud pada 1991, juga berdampak bagi perkembangan ikan koi. Hampir seluruh kolam ikan milik Roziq dan Muhson, terkena lumpur. ”Semuanya mati. Kolam-kolam terisi pasir dari letusan Gunung Kelud,” imbuh Muhson.
Bencana alam itu, tak mematikan semangat mereka. Setahun kemudian mereka mendapatan satu benih induk import. Hasilnya, ikan yang dikembangbiakkan kedua orang itu, diminati penghobi ikan koi. Apalagi saat itu, showroom ikan di Surabaya , Semarang , dan Jakarta , sudah mau menerima ikan koi dari Blitar. Puncak kejayaan keduanya, terjadi setelah 5 tahun menekuni ikan koi. Seiring suksesnya usaha itu, membuat warga desa Kemloko berbondong menjadi petani sekaligus pembudidaya ikan koi. Meski banyak petani yang beralih menjadi pembudidaya ikan, namun peran kedua orang itu tak pernah tersingkir. Keduanya juga yang membentuk Kelompok Sumber Harapan Koi Club. Kelompok ini pernah menjadi Juara I Lomba Koi Tingkat Nasional pada 2003.
Kondisi perekonomian pun meningkat tajam seiring kesuksesan kakak beradik itu. Roziq membangun rumahnya di tengah kolam, begitu pula dengan Muhson. Setelah itu kondisi usaha mereka relatif stabil hingga 2002. Selanjutnya, virus herpes mulai menenggelamkan kejayaan itu. Seluruh pendapatan turun drastis sampai 70 persen. Bila pada saat masa jaya, Muhson meraih keuntungan bersih sekitar Rp120 juta, kini hanya sekitar Rp30 juta. Demikian pula dengan Roziq, keuntungannya turun sampai 70 persen. ”Saya kira virus herpes di semua negara pasti ada, termasuk di sini. Penyebabnya, dari pengalaman kami karena faktor cuaca. suhu sampai 18 derajat celcius termasuk kategori membahayakan bagi pembudidayaan ikan mas, karena terjadi penurunan dari suhu normal 22-26 derajat celcius. Dalam suhu rendah, akan mempercepat perkembangan virus," kata Roziq mencoba menganalisa.
Dengan kondisi seperti itu, menurut Roziq, ia berusaha menstabilkan suhu kolam agar ikannya sehat. Kemudian kebersihan harus dijaga. Dengan perlakuan seperti itu, setidaknya ikan-ikan terjaga dari herpes. ”Sejak awal kami memulai, sama sekali tak pernah ada petunjuk teknis maupun bantuan dana dari pemerintah. Padahal kami juga membawa nama harum Kab. Blitar,” kata Roziq.
Tidak ada perhatian dari pemerintah itu, yang membuat semuanya serba tak peduli. Termasuk pada pendirian sub raiser di kawasan Candi Penataran. Menurut Roziq, dari pada digunakan mendirikan sub raiser, mendingan uang sebanyak itu, digunakan untuk membantu modal petani. Keberadaan sub raiser yang baru diresmikan itu, perannya sudah tergantikan dengan pengepul-pengepul yang selama ini mendatangi langsung ke kolam pembudidaya. ”Mereka-mereka ini yang sebenarnya sub raiser sesungguhnya. Hingga saat ini kami belum pernah merasakan sentuhan dari keberadaan Sub Raiser di Penataran itu,” tukas Roziq diamini Muhson.(edi purwanto)

1 komentar:

Pandi said...

salu buat rozid ma imam and ga lupa salut juga buat yang nulis. mohon bimbingannya ya mas aku juga lagi belajar nulis nih :D salam peace...

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog