Widgetized Footer

Aug 31, 2010

Mohon Maaf Pak Beye

17 Agustus 2010 baru saja berlalu tiga hari lalu. Selama tiga hari itu, aku selalu resah memandang Indonesia ini ke depan. Aku resah tentang masa depan anak-anak. Aku resah mau dibawa ke mana negeri ini. Aku resah karena kami tidak diajak memandang dalam spektrum lebih luas.

Ke mana negeri ini dibawa pun aku bingung. Doktrin yang selalu ditanamkan kepada kami, mari kita bangun negeri ini agar menjadi negeri yang makmur. Makmur seperti apa? Pergi ke mana-mana aman, pendidikan murah, bensin murah, sandang pangan papan murah, rakyat kecil iso gumuyu, bahkan bisa beli mobil layaknya pejabat.

Fakta melukiskan sebaliknya. Mantan menteri keuangan Sri Mulyani saja sampai mengeluh biaya pendidikan apalagi kaum miskin. Harga sembako juga menjadi permainan tengkulak. Perampok merajalela, korupsi ikut menggerogoti kekayaan negara. Pemerintah seolah-olah hanya mengikuti alur birokrasi yang alurnya mbulet tidak karuhan.

Pertanyaannya sampai kapan Indonesia makmur? Negeri ini sudah berumur 65 tahun sejak eyang Bung Karno membacakan proklamasi. Setiap periode kepemimpinan meninggalkan bekas yang dalam bagi penerus negeri ini. Sebagai orang muda yang dibesarkan pada orde baru tentu sangat paham dengan rencana pembangunan lima tahun (repelita).

Program jangka panjang menjadi target bersama rakyat Indonesia. Seperti swasembada beras. Begitu pemerintah mencanangkan swasembada pangan ini, seluruh kekuatan rakyat dikerahkan untuk swasembada pangan. Ujung-ujungnya target pangan ini tercapai. Pak Harto pada tahun sebelum krisis 1997 sampai berani menyebut Indonesia akan jadi macan asia.

Terus terang, harapan kami yang pada saat itu masih duduk di bangku SMA melambung, "Sebentar lagi Indonesia akan sejajar dengan Jepang, China." Begitu hati kami bergumam. Tapi apa daya krisis mengguncang Indonesia. Semua berantakan. Fondasi ekonomi kalang kabut. Pada akhirnya Indonesia harus tumbang. Pak Harto lengser bersama senyumnya yang khas.

Mewujudkan demokrasi ternyata lebih mudah dibandingkan mewujudkan kesejahteraan. Partai menjamur pascareformasi. Pemilihan presiden secara langsung sesuai azas demokrasi sukses mengantarkan SBY-JK. Namun laju demokrasi ini tidak diimbangi SBY-JK sampai SBY-Boediono meningkatkan kesejahteraan. Barangkali terlalu subjektif, tapi inilah yang aku rasakan. Orang-orang partai langsung kaya mendadak. Aktivis mahasiswa yang tiba-tiba terjun ke politik mendadak berubah menjadi orang kaya baru.

Program-program menonjol yang melibatkan rakyat dalam skala nasional hanya program BLT, penggantian minyak tanah dengan elpiji. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin terpuruk. Yang anak pejabat akan jadi pejabat, dan yang anak kaum sudra akan tetap menjadi keset. Akses pendidikan justru tertutup dengan banyaknya sekolah internasional. Pendidikan murah hanya berhias program beasiswa. Anak-anak kaum miskin semakin terpuruk. Biar tak berdaya kami tetap optimistis.

Kami sebenarnya masih punya mimpi tentang Indonesia. Sebuah mimpi tentang bangsa yang memiliki sejarah panjang sebagai bangsa yang besar. Sebuah mimpi tentang pemimpin setegas Gajah Mada. Pemimpin yang mampu mengarahkan ke mana negeri ini dibawa ke mana. Bukan pemimpin yang letoy, lebay, dan gila popularitas. Ajaklah kami bekerja keras. Beri kami contoh dengan turun ke lapangan bukan hanya duduk di kursi. Tunjukkan kepada kami jalan menuju kemakmuran. Tunjukkan kepada kami bahwa Bangsa Indonesia mampu makmur sejajar dengan bangsa lain. Kami sudah capek dengan retorika. Pak Beye jangan marah ya, sampean kan kepala pelayan kami. (Selamat HUT ke-65 Kemerdekaan Indonesia)

1 komentar:

sawali tuhusetya said...

postingan yang bagus dan mencerahkan. memang sudah saatnya negeri ini bangkit. postensi kekayaan alam yang melimpah sudah lebih dari cukup utk membuat bangsa ini bangsa besar.

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog