Widgetized Footer

Jul 21, 2007

Menunggu Pakem Jaranan Kediren

Ngumpulno Balung Pisah Seniman Lembah Brantas

Menelusuri seni jaran kepang di wilayah Lembah Brantas mulai Malang, Blitar, Tulungagung, dan Kediri, ibarat belajar mendengar, meresapi, dan memaknai cerita legenda Dyah Ayu Songgolangit. Ada yang memaknainya dari segi kejawen, dan datangnya Islam ke tanah jawa berabad-abad silam juga memberi warna tersendiri.
-----------------
Berawal dari sebuah legenda turun temurun, alkisah pada zaman Kerajaan Kediri, lahirlah putri cantik nan rupawan. Ketika menginjak remaja, ia bernama Dyah Ayu Songgolangit. Tiada banding, kecantikannya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Syahdan, raja-raja tetangga kerajaan Kediri banyak yang tertarik. Putri jelita ini, mempunyai seorang adik yang tak kalah terkenal, bernama Raden Tubagus Putut. Pada zamannya, menurut legenda, Raden Tubagus Putut pamit kepada ayahandanya untuk belajar dan menambah pengetahuan ketatanegaraan. Demi tujuan itu, pemuda gagah perkasa itu menyamar sebagai masyarakat biasa dengan nama Joko Lelono. Sampailah putra Kediri itu, di Kerajaan Bantarangin (saat ini Ponorogo) yang dipimpin Sang Prabu Klono Suwandono. Singkatnya, berkat kemampuan olah kanuragan, Joko Lelono diangkat menjadi patih kerajaan bergelar Patih Pujonggo Anom. Saat itu, Sang Prabu Klono Suwandono mendengar kecantikan Dyah Ayu Songgolangit, yang tak lain merupakan kakak kandung Joko Lelono. Ia kemudian meminta Joko, untuk meminang putri Kediri itu. Keberangkatannya ke Kediri, membuat Patih Pujonggo Anom memohon petunjuk kepada Sang Dewata. Sebab, ia tak ingin dirinya diketahui sang Ayahanda dan Kakanda tercinta. Dia lantas membuat dua topeng. Satu topeng dengan wajah jelek untuk dirinya, dan satunya berwajah satria yang tampan dikenakan Sang Prabu Klono Suwandono.
Di Kediri, para pelamar berdatangan termasuk Prabu Singo Barong dari Lodoyo, Kab Blitar. Mereka bersaing memperebutkan Dyah Ayu Songgolangit. Tetapi Dyah Ayu sangat mengenali adiknya kendati memakai topeng berwajah jelek. Ia lantas menyampaikan kepada Ayahandanya, kalau Patih Pujonggo Anom itu adalah putra kandungnya. Maka murkalah sang Raja Kediri kemudian mengutuk agar topeng berwajah jelek itu tidak bisa dilepas lagi. Menerima kutukan itu, Patih Pujonggo Anom menyampaikan kepada Dyah Ayu, kalau pinangan itu untuk Prabu Klono Suwandono. Mendengar itu, Dyah Ayu mengeluarkan Patemboyo (permintaan Red). Pertama, dia menginginkan sebuah titian yang tidak akan berpijak pada tanah. Kedua, barang siapa dapat membuat tontonan yang belum pernah ada dijagad (dunia Red), dan bilamana digelar dapat meramaikan jagad. Ketiga, mengarak (mengiring Red) manten menuju Kerajaan Kediri harus nglandak sahandape bantolo (lewat bawah tanah) dengan iring-iringan tetabuhan (bunyi-bunyian).
Karena permintaan itu sulit, Patih Pujonggo Anom dan Prabu Klono Suwandono bersemedi meminta petunjuk kepada Sang Dewata Agung. Setelah sekian waktu bersemedi, Sang Dewata Agung memberi wangsit berupa batang bambu, lempengan besi, dan Pusaka Pecut Samandiman.
Bambu dibuat menjadi kepang (jaran kepang Red) yang melambangkan sebuah titian tak berpijak pada tanah. Kemudian lempengan besi dijadikan tetabuhan yang enak didengar. Dalam waktu singkat Prabu Klono Suwandono bersama Patih Pujonggo Anom berhasil memenuhi permintaan Dyah Ayu. Akhirnya berangkatlah Kerajaan Bantarangin menuju ke Kediri. Di sana, iring-iringan itu menjadi tetabuhan yang bisa menjadi tontonan yang belum pernah dilihat masyarakat Kediri.
Prabu Singo Barong yang merasa kedahuluan, marah dan menyerang iring-iringan Prabu Klono Suwandono. Akhirnya terjadilah perang antara kedua raja yang bersaing meminang Dyah Ayu Songgolangit. Berkat kesaktian dan senjata Pecut Samandiman, akhirnya Prabu Singo Barong kalah. Ia akhirnya menurut sanggup menjadi pelengkap dalam pertunjukan jaranan yang digelar di Kerajaan Kediri.
Sang Dyah Ayu Songgolangit kelihatan gembira bercampur sedih nan pilu. Di saat inilah Sang Dyah Ayu Songgolangit menyampaikan kepada Prabu Klono Suwandono, sebenarnya mengidap penyakit Kedi. Ternyata, semua peristiwa tersebut dari ulah rekadaya atau siasat Dyah Ayu Songgolangit.
Begitu kiranya legenda hingga muncul kesenian jaran kepang di sekitar Lembah Brantas. Legenda yang hingga saat ini belum disepakati alurnya itu, disampaikan Guntur Tri Uncoro, pengamat kesenian jaranan Kota Kediri, pada seminar ”Mencari Identitas Kesenian Jaranan Pakem Kediren” di Dewan Kesenian Kota Kediri, Rabu (18/1) malam. ”Cerita ini ditulis dari pengamatan saya tentang kesenian jarananan di Kediri. Jadi ini bukan patokan, karena itu kedatangan 40 undangan para pinispeuh jaranan ini, untuk menyepakati pembentukan pakem jaranan Kediren,” terang pria yang juga bekerja sebagai staf di Dinas Pariwisata Kediri.
Menurutnya, belum ada satu alur cerita yang disepakati bersama pada legenda Dyah Ayu Songgolangit. Secara garis besar, cerita di atas sangat kental dan terasa dalam setiap lakon seni jaran kepang di Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Ponorogo. ”Jika kita menemukan pakem seni jaran kepang Kediren yang khas, dan berbeda dengan Tulungagung atau Blitar, akan kita angkat ke dunia internasional sebagai aset wisata Kota Kediri,” terangnya.Sementara itu, Ketua Dewan Kesenian Kota Kediri, Nurhadi Sekti Mukti, mengatakan, jika para pinisepuh kesenian jaran kepang berhasil membentuk pakem, maka cita-cita mengangkat kesenian jaranan ke tingkat lebih tinggi bisa terlaksana. ”Dalam waktu dekat tim berisi budayawan, koreografer, serta beberapa pinisepuh akan dibentuk untuk membuat pakem kesenian jaranan Kediren,” terangnya. (edi purwanto)

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog