Widgetized Footer

Jul 21, 2007

Pengidap HIV/AIDS Yang Menikah

Berbulan Madu Layaknya Pasangan Normal

Bayang-bayang virus mematikan, tak menghalangi sebuah kisah tentang cinta sejati. Seorang penderita HIV/AIDS di Kota Kediri menikah dengan wanita yang sudah diketahui negatif virus mematikan itu. Mereka pun juga berbulan madu layaknya pengantin normal.

HIV/AIDS bukan akhir segala-galanya. Virus mematikan itu, menjadi sebuah titik balik dalam kehidupan Tonny,30, bukan nama sebenarnya, asal Kota Kediri. Di saat masyarakat awam menghujat penderita HIV/AIDS, jebolan jurusan administrasi niaga di perguruan tinggi swasta di Jatim itu, justru menemukan jodoh. Bahkan wanita yang dipinangnya, merupakan wanita yang sehat dan negatif HIV/AIDS.
Proses panjang telah dilalui hingga Tonny akhirnya menikah dengan Jenny,29, teman satu SMAnya, pada September lalu. Ia bertemu Jenny saat berjalan-jalan di sebuah mall Kota Kediri, pertengahan 2005 lalu. ”Istri saya baik-baik saja. Tidak ada keluhan saat berhubungan intim, karena sama-sama tahu media penularan virus ini,” kata Tonny ditemui SINDO di kantornya siang kemarin.
Meski wanita itu janda beranak satu, tetapi bagi Tonny pernikahan merupakan momen yang memutarbalikkan kehidupannya. Melalui pernikahan itu, Tonny ingin bercerita kepada masyarakat kalau hidup berdampingan dengan HIV/AIDS tidak berbahaya. Sebagai contoh dirinya. Jenny tak pernah mempermasalahkan tubuhnya yang dihuni virus mematikan. Bahkan hubungan suami istri berjalan sangat normal dan terasa semakin indah.
Tonny tertular HIV/AIDS melalui media jarum suntik. Sejak kuliah kehidupan Tonny relatif amburadul. Putauw kemudian Sabu-Sabu sudah menemani kehidupan Tonny sejak masuk kuliah di Universitas Udayana Bali, pada 1995. Berawal dari jarum suntik bekas satu plastik, ia akhirnya tertular HIV/AIDS dan baru diketahui lima tahun kemudian. ”Saat masih kuliah saya memang ketagihan putauw. Ya mungkin karena jarum suntik satu plastik itu, akhirnya saya tertular,” katanya.
Dalam kondisi yang semakin melemah, Tonny beberapa kali harus menjalani opname. Apalagi selama menjalani perawatan, selang infus selalu tergantung pada lengan dan hidung. ”Ketika terkapar tak berdaya, muncul seorang pria berpakaian rapi dan ganteng. Dia bilang, HIV/AIDS bukan akhir segala-galanya,” tandasnya.
Sejak itu, semangat hidup Tonny mulai hidup. Ia mulai berinteraksi dengan ODHA yang lain. Perjalanannya kemudian hingga di Semarang. Di sana, berkumpul puluhan ODHA. ”Saya menjadi heran dan kemudian bersemangat kembali. Dari situlah saya kemudian tertarik menjadi pendamping sesama penderita,” katanya.
Kini aktivitas Tonny lebih dicurahkan pada pendampingan pecandu obat-obatan, dan penderita HIV/AIDS. Ia ditemani Yulianto, koordinator Kasih Plus Kediri, guna mendampingi ODHA agar berdaya. Yulianto sendiri juga ODHA. Ia merupakan sahabat Tonny ketika sama-sama terkapar di RSU dr Soetomo. ”Sebagai seorang sahabat, saya bangga sekaligus kehilangan,” katanya. Sebab, lanjut Yulianto, kini Tonny lebih banyak menghabiskan waktu bersama istri dibandingkan bersama teman-teman. ”Tetapi memang itu tujuan kami, agar ODHA berdaya dan tidak dikucilkan di masyarakat,” tandasnya. (edi purwanto)

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Hobi

  • Membaca
  • Menulis

Usai Deadline

Powered by Blogger.

Sinung Pangupo Jiwo

Blitar, Jawa Timur, Indonesia

Tulisan Lama

Search This Blog