Engkau telah mengerti hitam dan
merah jalan ini; Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan; Bahumu yang dulu
kekar, legam terbakar matahari kini kurus dan terbungkuk hm...; Namun semangat
tak pernah pudar meski langkahmu kadang gemetar, kau tetap setia.
”Titip
Rindu Buat Ayah” dari Ebiet G Ade tiba-tiba membawaku melayang selaksa
peristiwa. Beribu beban dan cobaan tak membuatnya rapuh. Ayah, dalam perjalanan ini kurindu menyapa. Zamanku
memang berbeda dengan zamanmu. Beban yang harus dipikul pada masaku bukan lelah
menguras keringat karena mencangkul sawah. Bebanku karena memikirkan dampak kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan listrik, kenaikan harga daging,
kenaikan harga beras, dan yang paling pahit kenaikan biaya mudik.
Jangan
pula bersedih jika melihat anak-anakmu
seusiaku tertatih karena beban itu. Idul Fitri ini, kami tetap bersimpuh
meminta maaf dengan segala keterbatasan. Tegakkanlah dagumu. Jangan
sekali-sekali tertunduk kala melihat harga-harga setinggi langit itu. Ini
zamanku, bukan zamanmu. Ayah, kita adalah rakyat. Seberat apapun beban menjadi
rakyat, engkau tetaplah seorang ayah, dan aku juga seorang ayah. Sebagai kepala
rumah tangga, tak pantaslah tangis bercucuran di sepanjang jalur mudik. Usaplah
air matamu kala cucu-cucumu datang memeluk dari belakang.
Hidup
di republik ini bukan ringan seperti zamanmu. Punggungmu yang hitam karena
pahatan sinar sang surya, seolah menggambarkan kehidupan petani yang tak pernah
merdeka. Tiga bulan menabur benih padi nyatanya panen habis dalam satu bulan.
Tak seperti zamanmu, uang ratusan ribu pun cukup membeli sapi sepasang.
Kini
uang ratusan ribu rasanya hanya cukup membeli buntut sapi. Katakan pada ibu,
tak usah memasak rendang daging untuk kami. Beban ibu sudah terlalu berat.
Sejak zaman Pak Soeharto hingga zaman Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), entah
berapa kali ibu jatuh bangun karena harga bumbu-bumbu dapur itu. Bayangkan saat
republik ini akan merayakan Lebaran, harga bawang putih menembus angka yang tak
pernah dibayangkan yakni Rp60.000/kg.
Lupakan
kerupuk bawang atau sambal korek yang bumbunya bawang putih, garam, dan cabai
itu. Ibu, cukup sayur pakis yang bapak petik dari pinggir sungai. Jangan
pedas-pedas karena pemerintah tak pernah becus mengatur harga cabai. Warna
sayur pakis yang hijau tua sudah cukup mengusir lelah kami dari perjalanan jauh.
Ibu,
jangan tertunduk lesu. Senyumlah meski dapurmu sudah sepi dari daging dan
cabai. Jangan pernah meminta belas kasihan para penggede negeri ini. Muka
mereka sudah bebal. Lubang telinga mereka sudah tembus dari kiri ke kanan.
Sudah beribu-ribu kali ditulis koran namun mereka tak peduli.
Persiapan mudik Lebaran sudah diliput beratus
kali, namun jalanan di pantai utara Jawa itu masih rusak. Republik ini masih
udik (pengertian, lawan kota) dalam menyiapkan mudik. Buktinya, pemerintah seperti
keledai yang masuk di lubang yang sama. Macet dari tahun ke tahun, masih di
mana-mana. Perjalanan Surabaya-Jakarta yang dulunya bisa ditempuh 25 jam kini nyaris
48 jam.
Bandingkan dengan Kota Busan, Korea Selatan.
Negara yang merdekanya hampir sama dengan bangsa Indonesia ini relatif lebih
maju. Suasana kotanya nyaman, jalanan kota bersih dan mulus. Kereta api mereka juga
nyaman dinikmati. Pendeknya, sistem transportasi negeri ginseng ini sangat
baik. Kita? Meski sudah sama-sama 68 tahun merdeka, rasanya masih kampungan
alias udik. Monorel yang katanya standar negara maju baru akan dibangun di
Jakarta 2013 ini. Belum lagi penataan kota yang masih semrawut. Warga-warga di
pinggir rel dan sungai seolah menjamur. Pemandangannya seperti negara yang
rakyatnya miskin semua.
Ayah,
ibu, anakmu tak ingin terlena mengeluh tentang kesemrawutan mudik. Aku ingin
mudik seperti orang-orang Amerika Serikat merayakan hari nasional, “Thanksgiving”.
Mereka merayakan dengan suka cita hari Thanksgiving, pada Kamis keempat bulan
November di Amerika Serikat, atau pada hari Senin kedua bulan Oktober di
Kanada. Mudik mereka naik pesawat
terbang, atau naik kereta api super cepat sehingga jarak Jakarta-Surabaya bisa
ditempuh hanya tiga jam. Jalan bebas hambatan benar-benar jalan yang tidak ada
hambatannya. Apa daya, kita mudik dengan daya seadanya.
Mungkin
tidak hanya aku, para pemudik itu juga ingin pulang dengan kepala tegak tanpa
memikirkan beban harga sembako, BBM, dan listrik yang mencekik leher. Inilah
realita yang harus dihadapi di republik ini. Rakyat harus bersabar. Rakyat
harus berzikir sepanjang jalan, dan rakyat harus bersyukur agar bisa tegak berdiri
dengan segala himpitan beban. Barangkali itulah inti pelajaran mudik, yakni perjalanan
cinta menuju kampung halaman dengan penuh kesabaran.
Bukan
sekadar hura-hura holiday travel. Bagiku
mudik adalah perjalanan menggapai maaf dan cinta kepada orang tua, dan kerabat.
Tak peduli hujan, panas, lelah dan kantuk, semua diterjang demi bertemu kerabat
di kampung halaman. Namun apabila kaki tak kuasa melangkah, tiket bus tak
terjangkau, dan tiket KA sudah lewat, jangan gundah gulana saudara-saudaraku.
Masih ada telepon dan short messages
service (SMS).
Namun
apabila pulsa handphone tak
terjangkau, jangan khawatir, sampaikan maaf lewat penguasa jagat. Semoga kita
diberi keselamatan saat tiba di kampung halaman dan kembali bekerja. Selamat
Idul Fitri 1434 hijriah, mohon maaf
lahir dan batin. Dirgahayu Republik Indonesia ke 68. Merdeka..!